Perwira Keturunan Tionghoa Pilih Abdikan Diri Jadi Dokter Militer

Herry Soebanto
Min, 25 September 2022 12.09 PM



Letnan Dua (Letda) Ckm dr Alfred Hartoyo Alphanto seorang perwira pertama keturunan etnis Tionghoa memilih mengabdikan diri kepada bangsa dan negara dengan menjadi dokter militer di satuan TNI.

"Saya ingin memberikan sesuatu untuk negara, salah satunya dengan cara mengabdi sebagai tentara," kata Letda Ckm dr Alfred Hartoyo Alphanto dipantau dari kanal YouTube Jenderal TNI Andika Perkasa di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, di Indonesia, terutama di instansi TNI tidak ada pembedaan semuanya diperlakukan dan diberikan kesempatan yang sama, termasuk perlakuan di dalam organisasi.

"Saya bersama teman-teman diperlukan sama dan dididik agar benar-benar menjadi seorang prajurit yang baik," kata dia.

Ia mengatakan sebagai seorang dokter militer akan mengikuti perintah dan siap ditempatkan di mana saja, termasuk memberikan yang terbaik bagi bangsa.

Sebagai seorang abdi negara, ia bertekad akan memberikan pengobatan gratis kepada masyarakat luas sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Kalau orang tersenyum saya juga ikut senang," ujarnya.

Ia bercerita pada awal kakeknya merantau dari Tiongkok ke Indonesia dan diterima menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia memberikan kesempatan yang sama kepada siapa saja, termasuk bagi anak-anak keturunan China.

Sebagai contoh, pada awal kedatangannya ke Indonesia kakeknya hanya seorang petani namun dari perjalanan waktu anak-anak keturunan Tionghoa bisa mengenyam pendidikan hingga menjadi seorang sarjana.

"Kakek saya awalnya petani, ayah dan ibu saya sarjana dan itu menurut saya sudah menjadi bantuan besar dari negara," kata dia.

Senada dengan itu, saudara kembar dari Letda Ckm dr Alfred Hartoyo Alphanto mengatakan orang tuanya selalu menyampaikan bahwa ia dan saudaranya lahir dan besar di Indonesia, termasuk makan dan minum dari tanah Indonesia sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengabdi kepada Ibu Pertiwi.

"Walaupun kamu keturunan Tionghoa tapi kamu sudah menjadi Warga Negara Indonesia dan harus mengabdikan diri ke Indonesia," ujarnya.

Sumber: Yahoo 

Jangan Pernah Ragu untuk Berbuat Kebajikan

Saat berselancar di dunia maya, saya menemukan tulisan saya di FB Artikel Buddhis. Ini tulisan saya 10 tahun lalu. Di pengantar dari Artikel Buddhis tertera tanggal 19 Juni 2012. Saya copy dan bagikan di sini. Selamat membaca ...



Jangan Pernah Ragu untuk Berbuat Kebajikan

Kejadian ini penulis alami belasan tahun yang lalu (sekitar pertengahan tahun 1999). Itu adalah saat awal penulis mengenal dan keranjingan internet. Penulis nekat naik angkot (angkutan kota) sendirian ke tempat yang cukup jauh dari mess karyawan. Karena asyiknya internet-an, penulis sampai lupa waktu. Sekitar pukul 21.30 WIB penulis selesai dan hendak pulang ke mess karyawan. Dari lokasi warnet di kompleks perumahan, penulis harus jalan kaki ke pangkalan angkot. Ternyata sudah tidak ada angkot yang beroperasi. Dari orang di sekitar sana penulis mengetahui bahwa angkot hanya beroperasi sampai sekitar pukul 20.00 WIB.

Di daerah itu penulis tidak punya kenalan, belum punya HP, tak ada pilihan selain berjalan kaki sekitar 2-3 kilometer. Itu bukanlah jarak yang jauh bagi penulis, tapi yang jadi permasalahan adalah jalanan itu sepi dan gelap. Sisi kiri dan kanan jalan banyak yang masih berupa sawah dan di satu tempat ada pohon bambu yang rimbun. Meski termasuk penakut, hanya itulah yang terlintas di benak penulis: jalan kaki untuk segera sampai ke mess karyawan.

Menekan perasaan takut dan bulu kuduk yang merinding, penulis berusaha terus berjalan. Kegelapan akan berkurang bila dari arah belakang atau depan ada cahaya dari kendaraan yang melintas. Jarang sekali kendaraan yang melintas. Tapi cahaya kendaraan itu pun tidak mengurangi rasa takut penulis.

Di kegelapan penulis takut makhluk tak tampak yang biasa disebut hantu dan ketika ada cahaya, penulis takut yang melintas adalah orang jahat yang bisa saja berhenti untuk menodong atau bahkan membunuh bila melawan.

Ada sekitar 3 kali cahaya dari arah belakang menerangi jalan penulis, lalu menghilang setelah melewati penulis. Baru sekitar seperempat perjalanan, sebuah mobil berhenti persis di sisi kanan penulis.

Penulis agak kaget. Seorang Bapak yang menyetir membuka jendela mobilnya lalu berteriak, “Mau ikut ke Palasari?” Palasari adalah nama daerah, dan sebelum sampai ke Palasari, mobil itu pasti akan melewati depan mess karyawan.

Tanpa sempat berpikir apa-apa, spontan penulis menjawab “Ya, Pak.” Tak ada prasangka, bagaimana jika pengemudi itu orang yang punya niat jahat. Hanya jawaban spontan karena penulis ingin secepatnya sampai ke tujuan.

Untungnya Bapak itu bukanlah orang jahat. Dalam perjalanan kami mengobrol.
“Dari mana Dik?” tanya si Bapak.
“Dari warnet Pak” jawab penulis. “Saya tidak tahu kalau angkot di daerah sini hanya sampai pukul 20.00. Jadi saya terpaksa berjalan kaki” lanjut penulis.
“Betul, angkot di sini hanya beroperasi sampai jam delapan malam” kata Bapak itu.

Sepanjang perjalanan kami mengobrol. Beliau juga bertanya penulis kerja di mana, berasal dari daerah mana, dan hal-hal lain. Singkat kata, penulis sampai ke tujuan. Berulang kali penulis mengucapkan terima kasih atas tumpangan yang diberikan Bapak itu. Bagaikan dewa penyelamat. Beliau hadir pada waktu dan tempat yang tepat.

Apa kaitan pengalaman penulis ini dengan Buddha Dhamma? Hukum tabur tuai atau lebih populer dengan sebutan hukum karma. Apa yang kita tanam, itu pula yang kelak kita petik. Sederhana, mudah dimengerti/logis, dan sangat adil. Itu salah satu topik yang menarik perhatian penulis dari apa yang dibabarkan Sang Buddha.

Bila mendapatkan hal-hal baik atau musibah, jangan pernah menyalahkan siapa pun. Seperti dalam paritta Brahmaviharapharana yang kita bacakan saat melakukan pujabakti. “Semua makhluk memiliki karmanya sendiri, mewarisi karmanya sendiri, lahir dan karmanya sendiri, berhubungan dengan karmanya sendiri, terlindung oleh karmanya sendiri. Apa pun karma yang diperbuatnya, baik atau buruk, itulah yang akan diwarisinya.”

Apa yang dapat dipetik dari pengalaman penulis? Jangan pernah ragu untuk berbuat kebajikan. Diharapkan atau tidak, semua perbuatan yang kita lakukan akan menghasilkan buah. Entah dalam kehidupan sekarang atau di kelahiran berikutnya. Apa yang kita terima, itulah hasil perbuatan kita di masa sekarang atau vipaka dari karma masa lalu kita. Tidak ada kejadian yang kebetulan, semua mengikuti hukum karma. Tidak mungkin Anda berbuat, orang lain mendapatkan buahnya, atau Anda mendapatkan buah dari perbuatan orang lain.

Penulis teringat pada motto dari seorang anggota milis Buddhis yang selalu menulis “Jangan pernah ragu untuk berbuat kebajikan.”

Hendry Filcozwei Jan
www.vihara.blogspot.com

Sumber: FB Artikel Buddhis 
 

Ingin Bergabung dengan Komunitas Buddhis?

Mau dapat pasangan yang satu keyakinan? Sama-sama Buddhis? Kalau iya, mungkin info di bawah ini bermanfaat bagi Anda.

Adakah teman se-Dhamma Anda yang menikah dengan pasangan yang berbeda keyakinan dan ia ikut keyakinan pasangannya? Saya yakin, sebagian besar jawaban yang keluar adalah, "Ada!" 

Teman Admin "Buddha Pedia" juga ada beberapa yang pindah ke lain hati (pindah keyakinan) karena pernikahan. Bukan hanya yang "Buddhis KTP" tapi juga yang dulunya aktivis (pengurus di Keluarga Mahasiswa Buddhis, aktivis di organisasi Buddhis, kakak pembina SMB = Sekolah Minggu Buddhis). Bagi Admin, ini agak memprihatinkan.

Memang sih ... kita bukan sedang berlomba dalam jumlah umat, juga tidak ada target harus rekrut umat Buddha sekian banyak. Hanya menyayangkan mereka yang sudah mengenal Buddha Dhamma kok bisa semudah itu beralih keyakinan. Admin pun berharap buah hati Admin kelak menikah dengan pasangan yang beragama Buddha juga. Sejak kecil kami sudah mengajak mereka ikut ke Sekolah Minggu Buddhis (semoga saja pengenalan Dhamma sejak dini yang kami lakukan membuat keyakinan mereka terhadap Buddha Dhamma tetap kuat).

Lantas akan muncul pertanyaan, "Apakah Buddhis menikah dengan Buddhis akan harmonis, jarang bertengkar?" Tidak ada jaminan. 

Dalam Dhamma disebutkan, ada 4 syarat yang mendukung terciptanya pernikahan bahagia, yakni pasangan memiliki 4 kesamaan: sama keyakinannya (Samma-Saddha), sama kemoralannya (Samma-Sila), sama kedermawanannya (Samma-Caga), dan sama kebijaksanaannya (Samma-Pañña). Artikel ini bisa dibaca di: Membina Keluarga Bahagia dalam Jalan Dhamma  Setidaknya kita sudah berusaha menciptakan kondisi agar pernikahan yang bahagia itu terwujud.

Untuk teman ngobrol saja, kita cari teman yang punya banyak kesamaan (misalnya hobi yang sama, suka makanan yang sama, dan lain-lain). Bersama teman ngobrol itu tidak lama, mungkin hanya beberapa jam saja dan mungkin seminggu atau sebulan cuma satu kali ketemu. Itulah teman ngobrol saat kita nongkrong bersama komunitas motor, atau komunitas pecinta koleksi tertentu. 

Bagaimana kalau pasangan hidup? Itu teman ngobrol kita seumur hidup, seminggu kita akan bertemu dengannya 7 hari, bahkan tiap malam tidur bersamanya. Bukankah jauh lebih asyik jika kita dan pasangan hidup kita memiliki banyak persamaan (kecuali sama jenis kelamin lho ya, kalau yang ini JANGAN).

Yang sering menjadi keluhan adalah sulitnya menemukan calon pasangan yang Buddhis. Anda mencari di sekolah atau tempat kuliah, memang jarang (karena memang minoritas). Begitu juga di tempat kerja. Solusinya, rajin-rajinlah ke vihara atau ikut kegiatan organisasi Buddhis.

Nah ... saat berselancar di InstaGram, Admin menemukan sebuah posting tentang Buddhist Worship, sebuah komunitas Buddhis. Tentu ini salah satu jawaban untuk itu (membuat Buddhis memiliki banyak teman Buddhis). 

Meski di dalam kolom komentar sebuah posting video (videonya dapat Anda saksikan di bawah ini), ada pro-kontra (ada yang tidak setuju karena Buddhis Worship terkesan menjadikan "ajang cari jodoh" sebagai untuk menarik Buddhis yang masih single untuk bergabung). Menurutnya seharusnya daya tarik utama komunitas itu adalah Buddha Dhamma. Pro-kontra adalah sesuatu yang wajar.

Terlepas dari itu semua, Admin dengan senang hati mem-posting video tersebut ke sini. Sekadar info, Admin bukanlah anggota atau pengurus komunitas itu dan Admin sekarang sudah berkeluarga (dengan Buddhis juga).

Selama info itu tentang Buddhis dan positif, why not? Info ajakan untuk gabung ke komunitas hobi, komunitas bisnis, atau yang lain (selama itu positif), oke-oke saja untuk disebar. Apalagi ini tentang Buddhis (Buddha Dhamma).

Silakan Anda lihat video di bawah ini, silakan juga klik: Buddhis Worship (untuk melihat komentar pro-kontra orang-orang yang sudah menyaksikan video ini). Anda tertarik, silakan bergabung. Tidak tertarik? Tidak jadi masalah.   

 


 

Reza Gunawan (Suami Dewi Lestari) Meninggal Dunia

Maria Rosari Dwi Putri
Rabu, 7 September 2022 7.32 AM


Reza Gunawan dan Dewi Lestari


Musisi dan penulis novel Dewi Lestari atau yang dikenal dengan Dee Lestari mengungkap cerita tentang kepergian suaminya, Reza Gunawan pada Selasa (6/9) pada pukul 11.53 WIB karena sakit.

Melalui laman Instagram pribadinya, Dee mengatakan bahwa sang suami meninggal dunia di rumah pribadi sesuai dengan keinginannya.

"Pada Selasa, 6 September, dalam usia 46 tahun, Reza Gunawan telah berpulang dengan tenang di rumah, dikelilingi keluarga, sebagaimana keinginannya," kata Dee pada Rabu.

"Fisiknya tak lagi di sini, tetapi kenangan tentangnya, cinta yang ia pancarkan, ilmu yang ia ajarkan, prinsip yang ia junjung, dan segala sentuhan penyembuhan yang telah ia bagikan, akan selalu bersama dengan kita," lanjutnya.

*  *  *  *  *

deelestari: “I am home. I am free, in the here, and in the now.”

Selasa, 6 September, pada usia 46 tahun, Reza Gunawan telah berpulang dengan tenang di rumah, dikelilingi keluarga, sebagaimana keinginannya.

Fisiknya tak lagi di sini, tetapi kenangan tentangnya, cinta yang ia pancarkan, ilmu yang ia ajarkan, prinsip yang ia junjung, dan segala sentuhan penyembuhan yang telah ia bagikan, akan selalu bersama dengan kita.

Terima kasih atas segala perhatian, dukungan, doa baik, dari kawan semua. Kami sungguh terharu melihat betapa banyak dan luas kasih sayang yang tercurah kepada Reza. Mohon maaf pula jika ada kesalahan almarhum, baik yang disengaja maupun tidak. Kami sekeluarga hanya dapat mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya.

Sabbe sankhara anicca. Segala sesuatu yang terbentuk akan selalu berubah dan tidaklah kekal. Semoga kebajikan dan karma baik Reza semasa hidup dapat mendekatkannya kepada kebebasan sempurna.

Kami yang ber-samvegacitta,

Dewi Lestari (Istri)
Keenan Avalokita Kirana (Anak)
Atisha Prajna Tiara (Anak)
Sawitri Gunawan (Ibu)
Sharena Delon (Adik)
Keluarga besar Reza Gunawan

*  *  *  *  *


Lebih lanjut, Dee menyampaikan rasa terima kasih kepada semua orang yang telah memberikan perhatian, dukungan serta doa untuk Reza dan juga keluarganya.

"Kami sungguh terharu melihat betapa banyak dan luas kasih sayang yang tercurah kepada Reza," kata penulis novel "Supernova" itu.

Dia juga meminta maaf jika mendiang Reza memiliki kesalahan yang disengaja ataupun tidak.

"Kami sekeluarga hanya dapat mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya. Semoga kebajikan dan karma baik Reza semasa hidup dapat mendekatkannya kepada kebebasan sempurna," ujar Dee.

Jenazah Reza Gunawan akan disemayamkan di Grand Heaven Pluit, Jakarta Utara pada Rabu (7/9). Kemudian diperabukan pada Kamis (8/9) di tempat yang sama.

Sumber: Yahoo.com  

Info tentang meninggalnya Reza Gunawan hingga beliau dikremasi dan abunya dilarung ke laut, terdokumentasi dengan baik di IG Dr. Ponijan Liaw (baik teks, foto, maupun video). Admin "Buddha Pedia" sajikan tautan ke IG Mr. Po yang menyajikan info tersebut. Silakan klik tautan di bawah ini:

  1. Selamat jalan Reza Gunawan (5 foto)
  2. Info buat yang ingin mendoakan dan melayat (1 foto)  
  3. Upacara jenazah masuk peti (9 foto)
  4. Alvin Adam datang melayat (9 foto)
  5. Upacara pemberian ulos (8 foto) 
  6. Pesan dan kesan Dewi Lestari di malam kembang (1 video)
  7. Kalyanamitta yang berkarya untuk melancarkan upacara pembacaan doa (1 foto)
  8. Doa dari tradisi Tantrayana (10 foto)
  9. Doa dari tradisi Mahayana (10 foto)
  10. Doa dari tradisi Theravada (8 foto)   
  11. Upacara tutup peti (10 foto)
  12. Keluarga mendiang mengantar jenazah menuju ke ruang krematorium (6 foto) 
  13. Kesan dari BCL untuk Mas Reza Gunawan pada acara kremasi (1 video)
  14. Pesan dari Papa Dewi Lestari sebelum acara kremasi (1 video)
  15. Ungkapan terima kasih keluarga Dewi Lestari kepada Bhikkhu Sangha (9 foto)  
  16. Pelarungan abu jenazah Reza Gunawan (1 video)
  17. Perpisahan tidak selalu membuat persahabatan dan silaturahmi retak (10 foto) 
  18. Salah satu ciri seseorang dicintai (10 foto) 
  19. Prosesi tabur bunga sebelum peti jenazah masuk ke proses kremasi (10 foto)
  20. Hasil kremasi berupa tulang dan abu disortir untuk diproses lebih lanjut (10 foto)
  21. Doa untuk mendiang Reza Gunawan dipimpin oleh Bhikkhu Sangha dari berbagai tradisi (6 foto)
  22. Pelarungan abu jenazah mendiang Reza Gunawan di laut lepas (10 foto) 
  23. Ungkapan ‘terima kasih’ disampaikan kepada para anggota Sangha (perkumpulan para bhikkhu/bhiksu/ni) dari keluarga almarhum Reza Gunawan (10 foto)
  24. Karangan bunga dari Presiden Joko Widodo (2 foto)
  25. Para Kalyanamitta berfoto bersama sebelum jenazah dikremasi (1 foto)  
  26. Usai pelarungan abu jenazah mendiang Reza Gunawan, Y.M. Dhammasubho Mahāthera dan Y.M. Cittagutto Mahāthera masih menyempatkan diri memberikan nasihat dan penghiburan kepada Dewi Lestari dan keluarga (10 foto)   
  27. Abumu telah dilarung. Perjalananmu rampung (1 video) dari IG Dewi Lestari  
  28. Banjir bantuan dari berbagai kalangan, terima kasih banyak kami ucapkan (9 foto)
  29.