Serial Trio Vihara: Air & Garam

Seri Trio Vihara

Jaya Ratana

*********************************************************************************************

Vivi Muditavati, gadis manis berbadan gempal, berbakat jadi pemimpin, tempat curhat kedua teman akrabnya, ia anak yatim piatu. Hani Filianti, agak tomboy, paling rame, selalu jadi penyegar suasana, sering muncul dengan ide brilian, tapi kadang idenya konyol. Rara Dewi, suka travelling, doyan jajan, agak penakut, dan setia kawan. Vivi, Hani, dan Rara adalah aktivis Sekolah Minggu Buddhis (SMB), mereka bertiga sangat kompak, teman-teman di vihara menyebut mereka Trio Vihara.

*********************************************************************************************

Vivi termenung di dalam kamarnya. Sejak sepulang kuliah tadi Vivi tak melakukan aktivitas. Hanya duduk di kasur merenungi kecerobohannya. Vivi sudah mengirim pesan kepada Hani dan Rara agar tidak menghubunginya. “Lagi mau konsentrasi,” kata Vivi. Kedua sahabatnya tentu menduga Vivi akan belajar untuk persiapan ujian atau mengerjakan tugas dan tak mau diganggu. Mereka sudah maklum kebiasaan Vivi.

Dompet Vivi hilang, entah kecopetan atau terjatuh dari saku celananya. “Hmmm … kamma buruk sedang terjadi. Sebenarnya, Vivi tak terlalu mempermasalahkan uang dan dompetnya yang hilang. Ia malas harus ke kantor polisi buat surat kehilangan, mengurus KTP, kartu ATM, dan kartu lainnya.

“Semoga saja dompetku ditemukan orang baik dan orang itu mengembalikannya. Entah mengantarkan langsung ke tempat kost-nya atau mengirimkan kartu identitasnya via jasa kurir atau ekspedisi.

*  *  *  *  *  *  *  *  *  *  *

Minggu pagi yang cerah. Vivi melangkahkan kaki memasuki halaman vihara. Hari ini cerah sekali. Udara sejuk membelai wajah Vivi, kicauan burung-burung di ranting pohon Bodhi seakan menyapa Vivi. Sungguh suasana yang mendamaikan hati.

Namo Buddhaya …” Vivi menyapa beberapa muda-mudi vihara yang sudah ada di vihara. Serentak mereka pun membalas salam Vivi, “Namo Buddhaya Vivi …”

Vivi segera ke ruangan SMB. Di sana sudah ada Hani dan Rara, dan beberapa muda-mudi yang biasa membantu mereka membimbing adik-adik yang ikut Sekolah Minggu. Muda-mudi yang penuh semangat memberikan bimbingan Dhamma untuk adik-adik, generasi penerus Buddha Dhamma. 

 

 

Hari ini giliran Vivi yang memberikan materi Dhamma untuk anak-anak kelas 3 hingga kelas 6 SD. Materinya tentang kamma atau masyarakat kita lebih sering menyebutnya karma.

*  *  *  *  *  *  *  *  *  *  *

Anak-anak sudah selesai membaca paritta. Kini giliran Vivi yang memberikan materi Dhamma. “Adik-adik, hari ini ada percobaan sederhana. Ini Ci Vivi bawa 1 botol air, 1 gelas kosong, 1 wadah berisi garam, dan banyak sendok. Siapa yang tau, apa rasa garam?” tanya Vivi. “Asiiin …” mereka serentak berteriak. “Iya, benar. Garam rasanya asin.”

Dalam hidup ini, kita selalu dihadapkan pada pilihan, melakukan perbuatan baik atau melakukan perbuatan buruk. Adik-adik tau ‘kan hukum tabur tuai? Kalau berbuat baik, kita akan dapat balasan yang baik. Kalau kita melakukan perbuatan buruk, kita akan mendapatkan balasan yang buruk. Kita sendiri yang akan merasakan akibat perbuatan kita. Adik-adik tau ‘kan?” tanya Vivi lagi. “Tauuu Cici,” mereka tampak antusias.

“Sekarang dengarkan penjelasan Ci Vivi ya? Dalam percobaan ini, air itu mewakili perbuatan baik, garam mewakili perbuatan buruk,” kata Vivi.
“Kita berbuat baik, maka Ci Vivi menuangkan air ke dalam gelas. Kita berbuat baik lagi, Ci Vivi menuangkan air lagi ke dalam gelas. Sekarang airnya sudah setengah gelas.” Vivi lalu membagikan sendok, setiap anak mendapat 1 sendok.

Secara bergiliran anak-anak diminta maju, Vivi menyendok air dari gelas lalu meminta anak itu meminumnya. “Bagaimana rasanya? Apakah airnya terasa segar?” Semua menjawab, “Segar Ci.” “Tentu saja air yang adik-adik minum rasanya segar,” kata Vivi.

 “Sekarang kita melakukan perbuatan buruk. Ci Vivi masukkan garam ke dalam gelas, lalu mengaduknya. Kita melakukan perbuatan buruk lagi, Ci Vivi masukkan lagi garam ke dalam gelas, lalu mengaduknya lagi,” terang Vivi.

“Ayo giliran seperti tadi. Adik-adik mencoba rasa air yang sudah ditaburi garam,” kata Vivi. Begitu air masuk ke mulut, mereka langsung berkomentar, “Ih … asin, nggak enak.”

“Nah … tadi semua sudah mencicipi air yang sudah ditaburi garam, bagaimana rasanya?” tanya Vivi. “Asiiin …,” kata mereka. “Apakah air garam itu enak rasanya?” Vivi kembali bertanya. “Nggaaak enak …,” jawab mereka serentak.

“Nah … apa pun yang kita lakukan, nanti kita sendiri yang akan merasakannya. Perbuatan yang kita lakukan, akan kembali kepada kita sendiri. Kita melakukan hal buruk, kita sendiri yang akan menerima akibatnya,” terang Vivi.

“Sekarang kita melakukan perbuatan baik lagi. Ci Vivi tambahkan air ke dalam gelas dan mengaduknya. Kita terus melakukan perbuatan baik lagi, lagi, dan lagi, Ci Vivi terus menambahkan air hingga gelas penuh dan airnya tumpah. Sekarang adik-adik coba cicipi lagi airnya,” Ci Vivi kembali meminta adik-adik mencicipi air dari gelas itu.

“Bagaimana rasanya? Apakah masih terasa asin?” tanya Vivi. “Airnya sudah tidak terasa asin,” jawab adik-adik. “Nah adik-adik, supaya kita semua terus dapat meminum air yang segar, hidup kita selalu baik dan bahagia, maka kita harus selalu berbuat baik,” Vivi mengakhiri penjelasannya.

“Adik-adik, sekian cerita Dhamma hari ini. Sekarang saatnya kita menikmati snack. Ayo semua berbaris yang rapi, Ci Hani dan Ci Rara akan membagikan snack untuk adik-adik,” Vivi mengakhiri sesi Sekolah Minggu Buddhis. Seketika suasana jadi riuh. Anak-anak tampak gembira.

“Vivi, ceritanya bagus. Mudah dimengerti anak-anak dan semoga Dhamma yang diajarkan akan selalu mereka ingat,” kata Ci Metta, Mama-nya Daniel. “Terima kasih Mama Daniel, semoga apa yang saya sampaikan bermanfaat,” Vivi tersenyum.

Ponsel-nya bergetar, itu tandanya ada pesan masuk. Vivi segera mengambil ponsel-nya dari saku celana. Vivi membuka layar ponsel, sekilas terlihat ada tulisan Ibu Noni (itu pesan dari Ibu Noni, saudara pemilik kost yang juga tinggal di tempat Vivi kost).

“Vivi, tadi ada seorang pemuda yang datang ke tempat kost. Ia mengantarkan dompetmu. Katanya ia menemukan dompetmu di jalan. Ia minta maaf karena baru sekarang sempat mengantarkannya hari ini,” begitu pesan Bu Noni.

Vivi segera menelepon Bu Noni. “Selamat siang Bu Noni. Bu, siapa nama pemuda yang mengantarkan dompet saya?” tanya Vivi. “Lho … mana Ibu tau.” Jawab Bu Noni. “Ibu nggak tanya namanya?” tanya Vivi lagi. “Nggak sempat tanya. Ibu pikir itu teman kuliahmu,” kata Bu Noni.

Vivi menanyakan ciri-ciri pemuda itu. Sama sekali Vivi tak menemukan teman kuliahnya yang punya ciri seperti yang Bu Noni sebutkan. Penasaran, tapi Vivi tak jadi menanyakan apakah pemuda itu ganteng. “Ah … nanti jadi gosip lagi di tempat kost. Vivi penasaran siapa gerangan pangeran tampan yang mengembalikan dompetnya,” batin Vivi.

“Siapa pun dia, terima kasih atas kejujuran dan kebaikan hatinya yang mau meluangkan waktu, tenaga, dan uang untuk datang ke tempat kost dan mengembalikan dompetnya,” batin Vivi. 


Dikutip dari Buletin KCBI edisi Juli 2024 halaman 18/19 karya Jaya Ratana (penulis bisa dihubungi dengan cara klik tulisan nama penulisnya). 





Serial Trio Vihara: Mengalah

 Serial Trio Vihara

Jaya Ratana

 *********************************************************************************************

Vivi Muditavati, gadis manis berbadan gempal, berbakat jadi pemimpin, tempat curhat kedua teman akrabnya, ia anak yatim piatu. Hani Filianti, agak tomboy, paling rame, selalu jadi penyegar suasana, sering muncul dengan ide brilian, tapi kadang idenya konyol. Rara Dewi, suka traveling, doyan jajan, agak penakut, dan setia kawan. Vivi, Hani, dan Rara adalah aktivis Sekolah Minggu Buddhis (SMB), mereka bertiga sangat kompak, teman-teman di vihara menyebut mereka Trio Vihara.

*********************************************************************************************

“Oke adik-adik sekian Sekolah Minggu hari ini. Sekarang adik-adik berbaris untuk mengambil konsumsi yang akan dibagikan Ci Hani dan Ci Rara,” kata Vivi. Seiring dengan itu, terdengar anak-anak SMB tertawa gembira.

“Ci Vivi, Vinka mau ngobrol sama Cici. Cici ada waktu nggak?” tanya Vinka, salah satu anak SMB tingkat SMP. Vinka adalah siswi kelas 8. “Oh ada apa Vinka,” Vivi balik tanya. “Ada hal penting yang ingin Vinka ceritakan,” ucap Vinka. “Oke, nanti ya setelah semua selesai makan. Vinka ambil snack dulu ya? Ci Vivi masih ada di sini sampai sore kok …,” kata Vivi sambil terseyum.

*  *  *  *  *  *  *  *  *  *  *

“Nah … di sini lebih nyaman ‘kan?” Vivi membuka pembicaraan. Vinka mengangguk dan berusaha tersenyum. Mereka berada di foodcourt tak jauh dari vihara. Vivi sengaja memilih tempat duduk di pojokan agar Vinka merasa nyaman untuk curhat.

Setelah kegiatan SMB selesai, Vivi pamit kepada kedua rekannya, Hani dan Rara. Vivi menyampaikan bahwa ia ingin menyediakan waktu untuk mendengarkan Vinka yang ingin curhat.

Di hadapan Vivi sudah ada segelas minuman boba, di depan Vinka ada segelas juice mangga. Suasana foodcourt hari itu cukup ramai, maklum hari Minggu dan jam makan siang.

“Ci, Vinka kesel banget,” Vinka memulai ceritanya. “Vinka ikut lomba nyanyi di sekolah. Mama pernah sampaikan kepada Vinka, menang kalah itu soal biasa. Vinka mengerti itu. Hanya saja Vinka kesel banget, jurinya tidak fair. Waktu final, yang juara itu melakukan kesalahan. Dia lupa lirik dan sempat berhenti menyanyi. Lalu juri membolehkannya mengulang. Vinka nyanyi dengan lancar. Teman-teman juga sudah yakin, Vinka pasti juara. Eh … yang salah lirik malah juara pertama, Vinka juara kedua,” tampak air mata Vinka hampir menetes.

Vivi diam sejenak, memberikan kesempatan kepada Vinka untuk meluapkan perasaannya. “Vinka harus bagaimana Ci?” lanjut Vinka. “Sebenarnya Vinka mau protes, tapi teman-teman bilang nggak ada gunanya. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat,” Vinka berhenti sejenak. “Ci Vivi, Vinka harus gimana?” tanya Vinka.

Suasana di meja tempat Vivi dan Vinka hening sejenak, meski suasana keseluruhan foodcourt tidaklah sepi. “Teman Vinka benar. Memang tidak ada yang bisa dilakukan. Protes pun percuma, karena memang keputusan juri tidak dapat diganggu gugat,” Vivi mulai bicara setelah Vinka curhat.

Vivi yakin apa yang diucapkan Vinka memang benar adanya. Vinka tak mungkin bohong. Artinya Vivi yakin memang ada yang salah dengan keputusan juri. Lomba di tingkat yang lebih besar saja Vinka menang kok, masa’ di sekolah Vinka kalah? Apalagi ada insiden sebelumnya, sang juara lupa lirik.


Vivi mengangkat minuman boba-nya, lalu menyedot minumannya secara perlahan sambil berusaha memikirkan gimana cara mengobati kekecewaan Vinka.”Vinka, menurut Ci Vivi, masalah ini nggak usah terlalu dipikirkan. Ci Vivi rasa teman-teman sekolah Vinka juga tau kalau Vinka lebih bagus daripada yang juara pertama. Protes tidak akan menyelesaikan masalah, malah mungkin mengakibatkan suasana di sekolah jadi tidak enak,” nasihat Vivi.

“Kejadian ini di luar kendali kita. Anggap saja Vinka mengalah. Mengalah bukan berarti kalah ‘kan?” Vivi memandang Vinka. Vinka mengangguk. “Ci Vivi punya cerita tentang seseorang yang mengalah, meski sebenarnya justru dia-lah yang menang. Vinka mau dengar?” tawar Vivi. “Mau Ci,” jawab Vinka antusias.

“Ini kisah tentang bhikkhu dan seorang pemuda. Seorang bhikkhu baru pulang dari mengumpulkan ranting-ranting kayu di hutan. Di perjalanan pulang ia bertemu seorang pemuda. Pemuda ini baru saja menangkap seekor kupu-kupu kecil dengan tangannya. Kupu-kupu itu ada dalam genggamannya.”

“Bhikkhu, cepat tebak kupu-kupu dalam genggaman tanganku ini, apakah ia hidup atau mati? Kalau benar, aku akan mengantarkan sepikul kayu bakar ke vihara. Kalau salah, sepikul kayu bakar ini untukku,” kata pemuda itu.


“Baiklah, kata bhikkhu itu. Kupu-kupu itu pasti sudah mati. Si pemuda tertawa gembira. Ia membuka genggaman tangannya dan seekor kupu-kupu terbang. Bhikkhu menyerahkan ranting pohon yang dikumpulkannya kepada pemuda itu,” Vivi memandangi Vinka.

“Vinka, kelihatannya bhikkhu itu kalah ‘kan?” tanya Vivi. “Iya, bhikkhu itu kehilangan ranting kayu yang telah dikumpulkannya,” jawab Vinka. “Tahukah Vinka, ketika pulang ke rumah, ayah pemuda ini marah ketika mengetahui asal-usul kayu bakar itu,” lanjut Vivi.

“Ayah pemuda itu meminta anaknya mengembalikan kayu bakar ke vihara. Vinka tau mengapa ayah pemuda itu marah?,” tanya Vivi lagi. Vinka menggeleng.

“Bhikkhu itu tau akal licikmu. Kalau beliau jawab hidup, pasti kamu akan meremas kupu-kupu itu sampai mati, sehingga kamu menang. Makanya beliau bilang kupu-kupu itu mati, sehingga kau melepaskan dan membiarkan kupu-kupu itu hidup. Kau merasa menang, tetapi sesungguhnya bhikkhu itu yang menang. Beliau berhasil menyelamatkan nyawa seekor kupu-kupu,” Vivi berkata seolah ia ayah pemuda itu.

Vivi menambahkan, “Bhikkhu itu bukan hanya menyelamatkan kehidupan seekor kupu-kupu tetapi sesungguhnya ia juga menyelamatkan pemuda itu dari perbuatan buruk, yakni membunuh kupu-kupu.”

“Kelihatannya bhikkhu itu kalah, tetapi sesungguhnya bhikkhu itu menang dua kali. Tidak apa Vinka kalah lomba, tapi di hati teman-teman Vinka, mereka tau Vinka lebih baik daripada sang pemenang. Vinka mengalah dan tidak protes karena tau itu perbuatan terbaik yang bisa dilakukan,” pungkas Vivi. “Ci Vivi, terima kasih sudah mau denger curhat Vinka. Terima kasih sudah menceritakan kisah ini. Hati Vinka sekarang sudah lega.”

 

Dikutip dari Buletin KCBI edisi Juli 2024 halaman 27/28 karya Jaya Ratana (penulis bisa dihubungi dengan cara klik tulisan nama penulisnya).

Serial Trio Vihara: Pesan Buddha

 Serial Trio Vihara

Jaya Ratana

 *********************************************************************************************

Vivi Muditavati, gadis manis berbadan gempal, berbakat jadi pemimpin, tempat curhat kedua teman akrabnya, ia anak yatim piatu. Hani Filianti, agak tomboy, paling rame, selalu jadi penyegar suasana, sering muncul dengan ide brilian, tapi kadang idenya konyol. Rara Dewi, suka traveling, doyan jajan, agak penakut, dan setia kawan. Vivi, Hani, dan Rara adalah aktivis Sekolah Minggu Buddhis (SMB), mereka bertiga sangat kompak, teman-teman di vihara menyebut mereka Trio Vihara.

*********************************************************************************************

Vivi memandang ke luar jendela. Di luar sana beberapa pengantar melambaikan tangan kepada sanak keluarga yang mereka yang ada di dalam gerbong kereta api sebagai tanda perpisahan. Seorang anak perempuan kecil tampak menangis dalam gendongan ibunya. Seorang anak perempuan kecil di dalam kereta juga menangis. Perpisahan memang sangat menyedihkan, bukan hanya bagi anak kecil, tetapi juga bagi orang dewasa.

Terdengar suara pengumuman bahwa kereta api dari Stasiun Bandung dengan tujuan akhir Stasiun Gambir, Jakarta segera akan berangkat. Vivi menahan air matanya agar tak menetes menyaksikan kesedihan kedua anak perempuan tadi.

“Hmmm … aku cengeng banget ya?” pikir Vivi. “Mellow banget,” kata teman-teman Vivi. “Masa’ nonton film sedih sedikit saja langsung nangis,” kata mereka. Yah mau gimana lagi, memang dari sono-nya begitu. Mungkin klep air mata Vivi tidak tertutup secara rapat, jadi air mata gampang bocor.

Vivi melirik ke kursi di sebelahnya. “Tumben … masih kosong,” pikir Vivi. Hari ini Sabtu, 1 Juni 2024, akhir pekan. Hari libur, hari lahirnya Pancasila. Nggak biasanya ada kursi kosong.

Tiba-tiba ada seseorang wanita berkaca mata hitam dan memakai masker berdiri di samping kursi kosong sambil memandangi nomor kursi yang tertera di dekat jendela. “Huuuh … akhirnya sampai juga, untung nggak ketinggalan kereta,” ucapnya pelan.

Kereta api bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Kebun Kawung. Vivi lega, tempat duduk di sebelahnya diisi wanita. Setidaknya relatif aman dari tindakan pelecehan seksual pria tak bertanggung jawab.

“Mau donat …?” tawar wanita di samping Vivi. “Oh tidak, terima kasih Ci,” jawab Vivi. “Ambil saja, jangan malu,” tawar wanita itu. ”Ini bukan basa-basi,” lanjutnya. Secepat kilat pikiran Vivi bekerja, “Ambil … tidak … ambil …,” batinnya. Akhirnya Vivi mengambil satu donat dari kotak yang disodorkan wanita itu. Wanita itu juga menawari  dua penumpang yang berada di depan kami, tapi mereka menolak.

“Mau liburan ke Jakarta?” tanya wanita itu membuka percakapan. “Nggg … ada acara reuni teman SMP,” jawab Vivi. “Pas ada waktu luang, jadi ikutan,” lanjut Vivi. “Oh iya, nama saya Vivi. Nama Cici siapa?” tanya Vivi. “Sandra …” jawabnya.

Sepanjang perjalanan mereka ngobrol banyak. Perjalanan terasa menyenangkan dan tak membosankan. Cici Sandra tampak awet muda. Vivi tak menyangka, anak sulung Ci Sandra hanya berbeda 3 tahun darinya. Sekarang anak sulungnya duduk di kelas XI.

Ci Sandra mengeluhkan anak perempuannya yang sering berbohong. Beberapa kali ketahuan berbohong, Ci Sandra memarahi anaknya. Apa hasilnya? Tak ada perubahan, malah semakin menjadi. “Duh … pusing. Mana Papanya sekarang sedang tugas ke luar kota untuk beberapa bulan ke depan,” kisah Ci Sandra.

Vivi mendengarkan cerita Ci Sandra. “Mirip dengan kisah sepupunya,” pikir Vivi. Apa yang dilarang Papa dan Mamanya, itu seolah jadi anjuran. Padahal tadinya ia anak yang penurut. Mungkin pengaruh dari teman-temannya. Siapa sangka, akhirnya berubah 180°. Sepupu Vivi kembali jadi anak penurut seperti sebelumnya. Vivi benar-benar nggak nyangka itu terjadi.

Tiba-tiba ponsel Vivi bergetar, tanda ada WA masuk. “Maaf Ci, ada WA masuk,” kata Vivi. Vivi melihat pesan masuk. Ternyata dari Rara. “Gimana perjalanannya?” tanya Rara. “Asyik. Ini lagi ngobrol dengan Cici yang duduk di sebelahku. Aku lanjut ngobrol dulu ya? Nanti aku video call deh kalo sudah di Jakarta. Eh iya, titip pesan, jangan lupa minta bantuan yang lain. Besok ‘kan aku nggak bisa ke vihara,” pesan Vivi. “Oke deh. Silakan lanjut,” jawab Rara.

Vivi menyimpan ponselnya dan kembali mendengarkan cerita Ci Sandra. Vivi juga menceritakan kisah sepupunya yang mirip dengan kisah anak Ci Sandra. Perjalanan Bandung – Jakarta terasa menyenangkan. Vivi mendapat teman baru. Ci Sandra ketemu teman curhat. Mereka saling bertukar nomor ponsel. 

*  *  *  *  *  *  *  *  *  *  *

“Apa kabar Vivi?” terdengar suara riang Ci Sandra di ujung sana begitu Vivi mengangkat telepon. “Kabar baik Ci,” jawab Vivi. “Terima kasih atas ceritanya waktu di kereta ya?” kata Ci Sandra.

“Cerita yang mana nih?” Vivi tak mengerti maksud Ci Sandra. “Kisah sepupu Vivi yang mirip kayak anak Ci Sandra. Sekarang perilaku anak Cici juga sudah kembali seperti semula, jadi anak baik-baik,” Ci Sandra tertawa. “Wah Vivi turut berbahagia Ci,” Vivi ikut tertawa gembira.

*  *  *  *  *  *  *  *  *  *  *

Vivi teringat isi Dhammapada 5, Kebencian tak akan pernah berakhir, apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir, bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah satu hukum abadi.

Secara naluri, kita ingin membalas seperti yang dilakukan orang lain kepada kita. Orang baik kepada kita, kita balas dengan kebaikan. Orang jahat, kita balas jahat juga. Orang memaki, kita balas dengan makian juga. Orang membenci kita, kita pun akan membenci orang itu.

Bagaimana ajaran Buddha? Buddha mengajarkan kita untuk terus melakukan kebajikan, apa pun yang dilakukan orang kepada kita. Orang baik kepada kita, kita juga baik. Orang jahat kepada kita, kita tetap baik. 

Anak berbohong (buruk), orang tua balas memarahi anaknya (buruk). Cara ini ternyata tidak efektif, perilaku anak tetap buruk (tidak berubah). Tantenya Vivi mengubah caranya dalam merespon perilaku buruk anaknya. 

Tante tetap memantau anaknya. Ketika anaknya bilang mau pergi belajar kelompok ke rumah si A, Tante konfirmasi ke Mama si A. Ternyata tidak ada anak Tante di sana! Apakah Tante memarahi anaknya ketika pulang? 

Oh tidak. Tante justru memperlakukan anaknya dengan sangat baik. Waktu anaknya pulang, Tante tidak bertanya penuh curiga. “Wah anak Mama pasti capek sekali. Ayo ganti pakaian dulu, itu di meja sudah Mama siapkan makanan kesukaanmu.” Tante tau anaknya berbohong, tapi Tante selalu memperlakukan anaknya dengan sangat baik. Hal itu dilakukan terus-menerus. Percaya atau tidak, itulah yang mengubah perilaku anaknya. Anaknya tidak berbohong lagi. Itu pula yang dilakukan Ci Sandra. 

Dikutip dari Buletin KCBI edisi Juni 2024 halaman 27/28 karya Jaya Ratana (penulis bisa dihubungi dengan cara klik tulisan nama penulisnya).