Seri Trio Vihara
*********************************************************************************************
Vivi Muditavati, gadis manis berbadan gempal, berbakat jadi pemimpin, tempat curhat kedua teman akrabnya, ia anak yatim piatu. Hani Filianti, agak tomboy, paling rame, selalu jadi penyegar suasana, sering muncul dengan ide brilian, tapi kadang idenya konyol. Rara Dewi, suka travelling, doyan jajan, agak penakut, dan setia kawan. Vivi, Hani, dan Rara adalah aktivis Sekolah Minggu Buddhis (SMB), mereka bertiga sangat kompak, teman-teman di vihara menyebut mereka Trio Vihara.
*********************************************************************************************
Vivi termenung di dalam kamarnya. Sejak sepulang
kuliah tadi Vivi tak melakukan aktivitas. Hanya duduk di kasur merenungi
kecerobohannya. Vivi sudah mengirim pesan kepada Hani dan Rara agar tidak
menghubunginya. “Lagi mau konsentrasi,” kata Vivi. Kedua sahabatnya tentu
menduga Vivi akan belajar untuk persiapan ujian atau mengerjakan tugas dan tak
mau diganggu. Mereka sudah maklum kebiasaan Vivi.
Dompet Vivi hilang, entah kecopetan atau terjatuh dari
saku celananya. “Hmmm … kamma buruk sedang terjadi. Sebenarnya, Vivi tak
terlalu mempermasalahkan uang dan dompetnya yang hilang. Ia malas harus ke
kantor polisi buat surat kehilangan, mengurus KTP, kartu ATM, dan kartu
lainnya.
“Semoga saja dompetku ditemukan orang baik dan orang
itu mengembalikannya. Entah mengantarkan langsung ke tempat kost-nya atau mengirimkan kartu
identitasnya via jasa kurir atau ekspedisi.
* *
* * *
* * *
* * *
Minggu pagi yang cerah. Vivi melangkahkan kaki
memasuki halaman vihara. Hari ini cerah sekali. Udara sejuk membelai wajah
Vivi, kicauan burung-burung di ranting pohon Bodhi seakan menyapa Vivi. Sungguh
suasana yang mendamaikan hati.
“Namo Buddhaya
…” Vivi menyapa beberapa muda-mudi vihara yang sudah ada di vihara. Serentak
mereka pun membalas salam Vivi, “Namo
Buddhaya Vivi …”
Vivi segera ke ruangan SMB. Di sana sudah ada Hani dan Rara, dan beberapa muda-mudi yang biasa membantu mereka membimbing adik-adik yang ikut Sekolah Minggu. Muda-mudi yang penuh semangat memberikan bimbingan Dhamma untuk adik-adik, generasi penerus Buddha Dhamma.
Hari ini giliran Vivi yang memberikan materi Dhamma untuk
anak-anak kelas 3 hingga kelas 6 SD. Materinya tentang kamma atau masyarakat
kita lebih sering menyebutnya karma.
* *
* * *
* * *
* * *
Anak-anak sudah selesai membaca paritta. Kini giliran Vivi yang memberikan materi Dhamma.
“Adik-adik, hari ini ada percobaan sederhana. Ini Ci Vivi bawa 1 botol air, 1
gelas kosong, 1 wadah berisi garam, dan banyak sendok. Siapa yang tau, apa rasa garam?” tanya Vivi.
“Asiiin …” mereka serentak berteriak. “Iya, benar. Garam rasanya asin.”
Dalam hidup ini, kita selalu dihadapkan pada pilihan,
melakukan perbuatan baik atau melakukan perbuatan buruk. Adik-adik tau ‘kan hukum tabur tuai? Kalau berbuat
baik, kita akan dapat balasan yang baik. Kalau kita melakukan perbuatan buruk,
kita akan mendapatkan balasan yang buruk. Kita sendiri yang akan merasakan
akibat perbuatan kita. Adik-adik tau
‘kan?” tanya Vivi lagi. “Tauuu Cici,”
mereka tampak antusias.
“Sekarang dengarkan penjelasan Ci Vivi ya? Dalam
percobaan ini, air itu mewakili perbuatan baik, garam mewakili perbuatan
buruk,” kata Vivi.
“Kita berbuat baik, maka Ci Vivi menuangkan air ke dalam gelas. Kita berbuat
baik lagi, Ci Vivi menuangkan air lagi ke dalam gelas. Sekarang airnya sudah
setengah gelas.” Vivi lalu membagikan sendok, setiap anak mendapat 1 sendok.
Secara bergiliran anak-anak diminta maju, Vivi
menyendok air dari gelas lalu meminta anak itu meminumnya. “Bagaimana rasanya?
Apakah airnya terasa segar?” Semua menjawab, “Segar Ci.” “Tentu saja air yang adik-adik
minum rasanya segar,” kata Vivi.
“Sekarang kita
melakukan perbuatan buruk. Ci Vivi masukkan garam ke dalam gelas, lalu
mengaduknya. Kita melakukan perbuatan buruk lagi, Ci Vivi masukkan lagi garam
ke dalam gelas, lalu mengaduknya lagi,” terang Vivi.
“Ayo giliran seperti tadi. Adik-adik mencoba rasa air
yang sudah ditaburi garam,” kata Vivi. Begitu air masuk ke mulut, mereka
langsung berkomentar, “Ih … asin, nggak
enak.”
“Nah … tadi semua sudah mencicipi air yang sudah
ditaburi garam, bagaimana rasanya?” tanya Vivi. “Asiiin …,” kata mereka.
“Apakah air garam itu enak rasanya?” Vivi kembali bertanya. “Nggaaak enak …,” jawab mereka serentak.
“Nah … apa pun yang kita lakukan, nanti kita sendiri
yang akan merasakannya. Perbuatan yang kita lakukan, akan kembali kepada kita
sendiri. Kita melakukan hal buruk, kita sendiri yang akan menerima akibatnya,”
terang Vivi.
“Sekarang kita melakukan perbuatan baik lagi. Ci Vivi
tambahkan air ke dalam gelas dan mengaduknya. Kita terus melakukan perbuatan
baik lagi, lagi, dan lagi, Ci Vivi terus menambahkan air hingga gelas penuh dan
airnya tumpah. Sekarang adik-adik coba cicipi lagi airnya,” Ci Vivi kembali
meminta adik-adik mencicipi air dari gelas itu.
“Bagaimana rasanya? Apakah masih terasa asin?” tanya
Vivi. “Airnya sudah tidak terasa asin,” jawab adik-adik. “Nah adik-adik, supaya
kita semua terus dapat meminum air yang segar, hidup kita selalu baik dan
bahagia, maka kita harus selalu berbuat baik,” Vivi mengakhiri penjelasannya.
“Adik-adik, sekian cerita Dhamma hari ini. Sekarang
saatnya kita menikmati snack. Ayo
semua berbaris yang rapi, Ci Hani dan Ci Rara akan membagikan snack untuk adik-adik,” Vivi mengakhiri
sesi Sekolah Minggu Buddhis. Seketika suasana jadi riuh. Anak-anak tampak
gembira.
“Vivi, ceritanya bagus. Mudah dimengerti anak-anak dan
semoga Dhamma yang diajarkan akan selalu mereka ingat,” kata Ci Metta, Mama-nya Daniel.
“Terima kasih Mama Daniel, semoga apa yang saya sampaikan bermanfaat,” Vivi
tersenyum.
Ponsel-nya bergetar, itu tandanya ada pesan masuk.
Vivi segera mengambil ponsel-nya dari saku celana. Vivi membuka layar ponsel,
sekilas terlihat ada tulisan Ibu Noni (itu pesan dari Ibu Noni, saudara pemilik
kost yang juga tinggal di tempat Vivi
kost).
“Vivi, tadi ada seorang pemuda yang datang ke tempat kost. Ia mengantarkan dompetmu. Katanya
ia menemukan dompetmu di jalan. Ia minta maaf karena baru sekarang sempat
mengantarkannya hari ini,” begitu pesan Bu Noni.
Vivi segera menelepon Bu Noni. “Selamat siang Bu Noni.
Bu, siapa nama pemuda yang mengantarkan dompet saya?” tanya Vivi. “Lho … mana
Ibu tau.” Jawab Bu Noni. “Ibu nggak tanya namanya?” tanya Vivi lagi. “Nggak sempat tanya. Ibu pikir itu teman
kuliahmu,” kata Bu Noni.
Vivi menanyakan ciri-ciri pemuda itu. Sama sekali Vivi
tak menemukan teman kuliahnya yang punya ciri seperti yang Bu Noni sebutkan.
Penasaran, tapi Vivi tak jadi menanyakan apakah pemuda itu ganteng. “Ah … nanti
jadi gosip lagi di tempat kost. Vivi
penasaran siapa gerangan pangeran tampan yang mengembalikan dompetnya,” batin
Vivi.
“Siapa pun dia, terima kasih atas kejujuran dan kebaikan hatinya yang mau meluangkan waktu, tenaga, dan uang untuk datang ke tempat kost dan mengembalikan dompetnya,” batin Vivi.
Dikutip dari Buletin KCBI edisi Agustus 2024 halaman 18/19 karya Jaya Ratana (penulis bisa dihubungi dengan cara klik tulisan nama penulisnya).
0 komentar:
Posting Komentar