Serial Trio Vihara: Bunga Teratai

Seri Trio Vihara

Jaya Ratana

*********************************************************************************************

Vivi Muditavati, gadis manis berbadan gempal, berbakat jadi pemimpin, tempat curhat kedua teman akrabnya, ia anak yatim piatu. Hani Filianti, agak tomboy, paling rame, selalu jadi penyegar suasana, sering muncul dengan ide brilian, tapi kadang idenya konyol. Rara Dewi, suka travelling, doyan jajan, agak penakut, dan setia kawan. Vivi, Hani, dan Rara adalah aktivis Sekolah Minggu Buddhis (SMB), mereka bertiga sangat kompak, teman-teman di vihara menyebut mereka Trio Vihara.

*********************************************************************************************

Hari ini udara pagi begitu cerah. Waktu baru menunjukkan pukul 07.00, tapi suasana vihara sudah ramai. Muda-mudi vihara, khususnya Cici dan Koko Pembina SMB tampak sedang sibuk. Iya, mereka sedang sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk anak-anak SMB yang akan berkunjung ke tempat wisata. Mereka akan pergi ke taman bunga.

“Ferry, kendaraannya cukup semua ‘kan?” tanya Hani. “Kemarin saya sudah WA semua ortu yang akan membawa mobil. Semua siap. Saya juga sudah hitung semua jumlah kursi kosong di tiap mobil, semuanya cukup kok. Sekarang semuanya sudah hadir,” jawab Ferry.

Janji harus ditepati, dan itu semua berjalan lancar. Ortu yang berjanji akan menyediakan mobil untuk transportasi semua sudah hadir tepat waktu. Ada ortu yang berdana makan siang, ada yang berdana snack, ada yang berdana minuman. Luar biasa kekompakan ortu anak-anak SMB sehingga meringankan kas SMB.

 

                                                      *  *  *  *  *  *  *  *  *  *  *       

“Adik-adik, ayo berbaris yang rapi,” Rara sedang mengatur anak-anak SMB di dekat pintu masuk. “Semua harus tertib ya? Ikuti apa yang Cici dan Koko katakan. Jangan pergi sendiri dan keluar dari rombongan. Kalau mau pipis, kasih tau Cici atau Koko, jadi Cici dan Koko bisa antar sehingga tidak ada tertinggal atau terpisah dari rombongan. Jangan membuang sampah sembarangan dan jangan merusak tanaman di sini,” lanjut Rara. “Semua mengerti?” tanya Rara. “Mengerti Cici …,” jawab anak-anak serentak.

Demi lancarnya acara hari ini, beberapa Koko Pembina SMB ada yang menginap di vihara. Mereka menyiapkan segala kebutuhan untuk permainan di taman bunga ini. Semua bersemangat untuk menyukseskan acara hari ini.

Jane dan Vivi sedang antre di depan loket untuk membeli tiket. Suasana di sekitar sana memang ramai, maklumlah ini hari Minggu. Terdengar agak berisik, but its okay. Itu berasal dari suara anak-anak yang tertawa dan berteriak kegirangan karena diajak berlibur oleh orang tua mereka.

 

                                                      *  *  *  *  *  *  *  *  *  *  *       

Rimbunnya pepohonan dan angin semilir yang bertiup menghadirkan suasana yang nyaman. Di sana rombongan anak-anak SMB sedang duduk santai beralaskan tikar. Mereka sudah selesai berkeliling taman bunga dan mengikuti berbagai permainan menarik. Sekarang istirahat sejenak. Sebelum makan siang, giliran Hani yang tampil. “Jangan hanya liburan saja, harus ada sedikit Dhamma yang disampaikan,” pesan Vivi kepada Hani sejak minggu lalu.

“Duduk tenang sebentar ya? Sebentar lagi kita akan makan siang. Sambil menunggu waktu makan siang, Ci Hani akan bercerita,” Vivi memberikan kata pengantar. Suasana tenang. “Adik-adik, tadi kita sudah berkeliling, melihat aneka pohon dan bunga. Siapa tadi yang melihat bunga teratai?” tanya Hani. Semua anak mengangkat tangan mereka.

“Jimmy, apa warna bunga teratai?” tanya Ci Hani. “Putih,” jawab Jimmy. “Ada juga yang merah. Ada yang warna biru,” teriak yang lain. “Iya, warnanya bermacam-macam. “Adik-adik tau ‘kan, bunga teratai tumbuh di dalam kolam. Teratai tumbuh di air. Bagian bawah kolam itu tanah, lumpur. Meski teratai tumbuh dan dapat sari makanan dari lumpur, tetapi bunganya tetap bersih. Bunga teratai adalah contoh keteguhan hati, tidak mudah terpengaruh. Adik-adik rajin ke vihara, belajar Dhamma agar jadi anak baik. Adik-adik harus seperti bunga teratai, meskipun nanti bertemu dengan anak yang nakal, adik-adik harus tetap jadi anak baik. Janji ya, tetap jadi anak baik?” ucap Ci Hani. “Iya Ci Hani …” teriak mereka.

                                                      *  *  *  *  *  *  *  *  *  *  *       

Lahir sebagai manusia adalah hal yang sulit

Manfaatkan kesempatan ini

Janganlah sia-siakan, teruslah menjadi orang baik

 

 

Dikutip dari Buletin KCBI edisi September 2024 halaman 29/30 karya Jaya Ratana (penulis bisa dihubungi dengan cara klik tulisan nama penulisnya).  

Serial Trio Vihara: Air & Garam

Seri Trio Vihara

Jaya Ratana

*********************************************************************************************

Vivi Muditavati, gadis manis berbadan gempal, berbakat jadi pemimpin, tempat curhat kedua teman akrabnya, ia anak yatim piatu. Hani Filianti, agak tomboy, paling rame, selalu jadi penyegar suasana, sering muncul dengan ide brilian, tapi kadang idenya konyol. Rara Dewi, suka travelling, doyan jajan, agak penakut, dan setia kawan. Vivi, Hani, dan Rara adalah aktivis Sekolah Minggu Buddhis (SMB), mereka bertiga sangat kompak, teman-teman di vihara menyebut mereka Trio Vihara.

*********************************************************************************************

Vivi termenung di dalam kamarnya. Sejak sepulang kuliah tadi Vivi tak melakukan aktivitas. Hanya duduk di kasur merenungi kecerobohannya. Vivi sudah mengirim pesan kepada Hani dan Rara agar tidak menghubunginya. “Lagi mau konsentrasi,” kata Vivi. Kedua sahabatnya tentu menduga Vivi akan belajar untuk persiapan ujian atau mengerjakan tugas dan tak mau diganggu. Mereka sudah maklum kebiasaan Vivi.

Dompet Vivi hilang, entah kecopetan atau terjatuh dari saku celananya. “Hmmm … kamma buruk sedang terjadi. Sebenarnya, Vivi tak terlalu mempermasalahkan uang dan dompetnya yang hilang. Ia malas harus ke kantor polisi buat surat kehilangan, mengurus KTP, kartu ATM, dan kartu lainnya.

“Semoga saja dompetku ditemukan orang baik dan orang itu mengembalikannya. Entah mengantarkan langsung ke tempat kost-nya atau mengirimkan kartu identitasnya via jasa kurir atau ekspedisi.

*  *  *  *  *  *  *  *  *  *  *

Minggu pagi yang cerah. Vivi melangkahkan kaki memasuki halaman vihara. Hari ini cerah sekali. Udara sejuk membelai wajah Vivi, kicauan burung-burung di ranting pohon Bodhi seakan menyapa Vivi. Sungguh suasana yang mendamaikan hati.

Namo Buddhaya …” Vivi menyapa beberapa muda-mudi vihara yang sudah ada di vihara. Serentak mereka pun membalas salam Vivi, “Namo Buddhaya Vivi …”

Vivi segera ke ruangan SMB. Di sana sudah ada Hani dan Rara, dan beberapa muda-mudi yang biasa membantu mereka membimbing adik-adik yang ikut Sekolah Minggu. Muda-mudi yang penuh semangat memberikan bimbingan Dhamma untuk adik-adik, generasi penerus Buddha Dhamma. 

 

 

Hari ini giliran Vivi yang memberikan materi Dhamma untuk anak-anak kelas 3 hingga kelas 6 SD. Materinya tentang kamma atau masyarakat kita lebih sering menyebutnya karma.

*  *  *  *  *  *  *  *  *  *  *

Anak-anak sudah selesai membaca paritta. Kini giliran Vivi yang memberikan materi Dhamma. “Adik-adik, hari ini ada percobaan sederhana. Ini Ci Vivi bawa 1 botol air, 1 gelas kosong, 1 wadah berisi garam, dan banyak sendok. Siapa yang tau, apa rasa garam?” tanya Vivi. “Asiiin …” mereka serentak berteriak. “Iya, benar. Garam rasanya asin.”

Dalam hidup ini, kita selalu dihadapkan pada pilihan, melakukan perbuatan baik atau melakukan perbuatan buruk. Adik-adik tau ‘kan hukum tabur tuai? Kalau berbuat baik, kita akan dapat balasan yang baik. Kalau kita melakukan perbuatan buruk, kita akan mendapatkan balasan yang buruk. Kita sendiri yang akan merasakan akibat perbuatan kita. Adik-adik tau ‘kan?” tanya Vivi lagi. “Tauuu Cici,” mereka tampak antusias.

“Sekarang dengarkan penjelasan Ci Vivi ya? Dalam percobaan ini, air itu mewakili perbuatan baik, garam mewakili perbuatan buruk,” kata Vivi.
“Kita berbuat baik, maka Ci Vivi menuangkan air ke dalam gelas. Kita berbuat baik lagi, Ci Vivi menuangkan air lagi ke dalam gelas. Sekarang airnya sudah setengah gelas.” Vivi lalu membagikan sendok, setiap anak mendapat 1 sendok.

Secara bergiliran anak-anak diminta maju, Vivi menyendok air dari gelas lalu meminta anak itu meminumnya. “Bagaimana rasanya? Apakah airnya terasa segar?” Semua menjawab, “Segar Ci.” “Tentu saja air yang adik-adik minum rasanya segar,” kata Vivi.

 “Sekarang kita melakukan perbuatan buruk. Ci Vivi masukkan garam ke dalam gelas, lalu mengaduknya. Kita melakukan perbuatan buruk lagi, Ci Vivi masukkan lagi garam ke dalam gelas, lalu mengaduknya lagi,” terang Vivi.

“Ayo giliran seperti tadi. Adik-adik mencoba rasa air yang sudah ditaburi garam,” kata Vivi. Begitu air masuk ke mulut, mereka langsung berkomentar, “Ih … asin, nggak enak.”

“Nah … tadi semua sudah mencicipi air yang sudah ditaburi garam, bagaimana rasanya?” tanya Vivi. “Asiiin …,” kata mereka. “Apakah air garam itu enak rasanya?” Vivi kembali bertanya. “Nggaaak enak …,” jawab mereka serentak.

“Nah … apa pun yang kita lakukan, nanti kita sendiri yang akan merasakannya. Perbuatan yang kita lakukan, akan kembali kepada kita sendiri. Kita melakukan hal buruk, kita sendiri yang akan menerima akibatnya,” terang Vivi.

“Sekarang kita melakukan perbuatan baik lagi. Ci Vivi tambahkan air ke dalam gelas dan mengaduknya. Kita terus melakukan perbuatan baik lagi, lagi, dan lagi, Ci Vivi terus menambahkan air hingga gelas penuh dan airnya tumpah. Sekarang adik-adik coba cicipi lagi airnya,” Ci Vivi kembali meminta adik-adik mencicipi air dari gelas itu.

“Bagaimana rasanya? Apakah masih terasa asin?” tanya Vivi. “Airnya sudah tidak terasa asin,” jawab adik-adik. “Nah adik-adik, supaya kita semua terus dapat meminum air yang segar, hidup kita selalu baik dan bahagia, maka kita harus selalu berbuat baik,” Vivi mengakhiri penjelasannya.

“Adik-adik, sekian cerita Dhamma hari ini. Sekarang saatnya kita menikmati snack. Ayo semua berbaris yang rapi, Ci Hani dan Ci Rara akan membagikan snack untuk adik-adik,” Vivi mengakhiri sesi Sekolah Minggu Buddhis. Seketika suasana jadi riuh. Anak-anak tampak gembira.

“Vivi, ceritanya bagus. Mudah dimengerti anak-anak dan semoga Dhamma yang diajarkan akan selalu mereka ingat,” kata Ci Metta, Mama-nya Daniel. “Terima kasih Mama Daniel, semoga apa yang saya sampaikan bermanfaat,” Vivi tersenyum.

Ponsel-nya bergetar, itu tandanya ada pesan masuk. Vivi segera mengambil ponsel-nya dari saku celana. Vivi membuka layar ponsel, sekilas terlihat ada tulisan Ibu Noni (itu pesan dari Ibu Noni, saudara pemilik kost yang juga tinggal di tempat Vivi kost).

“Vivi, tadi ada seorang pemuda yang datang ke tempat kost. Ia mengantarkan dompetmu. Katanya ia menemukan dompetmu di jalan. Ia minta maaf karena baru sekarang sempat mengantarkannya hari ini,” begitu pesan Bu Noni.

Vivi segera menelepon Bu Noni. “Selamat siang Bu Noni. Bu, siapa nama pemuda yang mengantarkan dompet saya?” tanya Vivi. “Lho … mana Ibu tau.” Jawab Bu Noni. “Ibu nggak tanya namanya?” tanya Vivi lagi. “Nggak sempat tanya. Ibu pikir itu teman kuliahmu,” kata Bu Noni.

Vivi menanyakan ciri-ciri pemuda itu. Sama sekali Vivi tak menemukan teman kuliahnya yang punya ciri seperti yang Bu Noni sebutkan. Penasaran, tapi Vivi tak jadi menanyakan apakah pemuda itu ganteng. “Ah … nanti jadi gosip lagi di tempat kost. Vivi penasaran siapa gerangan pangeran tampan yang mengembalikan dompetnya,” batin Vivi.

“Siapa pun dia, terima kasih atas kejujuran dan kebaikan hatinya yang mau meluangkan waktu, tenaga, dan uang untuk datang ke tempat kost dan mengembalikan dompetnya,” batin Vivi. 


Dikutip dari Buletin KCBI edisi Agustus 2024 halaman 18/19 karya Jaya Ratana (penulis bisa dihubungi dengan cara klik tulisan nama penulisnya).