Sekitar
dua puluhan tahun lalu, ketika aku masih muda, aku senang bepergian sendiri
sebagai backpacker ke kota-kota
sebelah timur, seperti Jogja, Magelang, Semarang, Kediri, Malang, Surabaya,
Bali, bahkan sampai Papua. Berbekal uang seadanya dan saxophone untuk mengamen, aku terbiasa pergi dari rumah sampai 2
bulan lebih. Karena cara mengamenku yang agak elite, mudah bagiku
untuk mendapatkan uang ala kadarnya untuk melanjutkan perjalanan atau balik ke
Jakarta. Itu aku
lakukan sebelum kuliah dan selama liburan semester.
Suatu
waktu kakiku menyeret tubuh dan sukmaku di jalanan kota kecil Magelang. Saat
itu malam hari dan hujan gerimis turun. Losmen yang aku tuju masih sekitar 500
meter lagi. Dan perut sudah keroncongan. Di jajaran sebelah kiri aku
lihat hanya ada sebuah warung angkringan. Sepi pula. Sop Buntut dan Kaki
Sapi Si Mbah. Demikian nama warung itu. Siapa nama Si Mbah itu, tidak dituliskan. Namun
aku berasumsi Si Mbah ini pasti sudah terkenal, jadi tidak perlu menuliskan
lagi namanya.
Sesuai
dengan nama warungnya, si pemilik memang sudah tua, kira-kira pertengahan awal 60-an. Dengan sigap ia melayani pesananku.
Tangannya yang ringkih dan keriput menciduk kuah sop di kuali. Sekalipun sendok
sayur yang ia gunakan tidaklah panjang, tidak proporsional dibandingkan
besarnya kuali kuah itu, tangannya tidak perlu merogoh sampai ke dasar.
Terlihat jelas dari cara ia menciduk air kuah bahwa barang dagangannya masih
banyak. Padahal ini sudah pukul 10 malam. Hujan gerimis dari tadi sore memang
nampaknya tidak memberi ampun buat para pedagang angkringan ini.
Wajah
pak tua ini kelihatan tegar. Ia tampak santai tapi serius dengan sesuatu
yang ada di kepalanya. Aku perhatikan sesekali bibirnya bergumam dan
mengucapkan sesuatu yang tidak aku pahami. “Silakan Mas dimakan,” sambil
menyodorkan pesananku di meja.
“Trima
kasih,
Pak,” jawabku.
Tanpa banyak menunggu langsung aku lahap sop kaki sapi ini. Ia kembali ke
tempat duduknya dan bibirnya terus mengucapkan sesuatu. Aku jadi tertarik ingin
berbincang-bincang
dengannya.
“Pak, kalau boleh, kenapa Bapak
tidak duduk di sini saja? ‘kan
gak ada orang lagi, cuma berdua. Dari pada anteng sendiri-sendiri mendingan
kita ngobrol,” undangku.
“Wah,
nanti Si Mbah
merepotkan, Mas.”
“Apa
yang direpotkan tokh Pak?” tanyaku sampai meninggikan alis
mataku, mengundangnya sekali lagi. Ia pun akhirnya duduk di depanku.
“Mas
bukan dari orang kota ini, ya? Si Mbah
rasanya baru lihat.”
“Saya
dari Jakarta, Mbah,” sekarang aku memberanikan diri menyebutnya Mbah, sebagaimana ia menyebut
dirinya.
“Sedang
liburan Mas?” “Tidak
Mbah, saya tukang ngamen. Cari duit
dan pengalaman di sela-sela kuliah. Saya bawa alat tiup. Cuman malam ini saya
lagi malas karena hujan,” sambil aku menunjukkan hard
case saxophone-ku.
“Bagus
sekali, Mas. Jarang
sekali si Mbah lihat pengamen pake saxophone.”
Lha
kapan aku bilang saxophone, kok dia sudah tahu itu saxophone? Mungkin si Mbah itu bukan orang udik. Mungkin
di masa mudanya dia sering berdansa waltz atau cha-cha.
“Mbah
sendirian berdagangnya?” “Enggak Mas, si Mbah ditemani istri, dan seorang
laden, tapi sekarang istri saya suruh pulang dan laden sedang ada perlu dulu.
Nanti sebentar lagi dia datang.”
“Malam
ini hujan terus ya Mbah. Orang pada males keluar rumah.”
“Ya
begitulah, Mas. Dagangan pun belum banyak laku. Tapi
hidupkan harus tetap tabah dijalani.
Sabar lan mantep aja Mas.”
Suaranya agak mendesah, namun tidak terkesan memelas.
“Mbah,
dari tadi saya perhatikan Mbah
seperti sedang wiridan. Membaca asma
Allah yah?” tanyaku penuh
selidik.
“Hahahaha enggak Mas.
Mmm maksud si Mbah itu
bukan wiridan seperti yang Mas pikirkan. Kok si Mas perhatian banget sih?”
“Apaan
dong Mbah? Kalau boleh saya tahu. Saya
pikir tadi si Mbah wiridan supaya minta Allah hentikan
hujan atau supaya orang banyak beli hehe.”
“Si
Mbah menjapa Nammo Amitabha, Mas,” jawabnya agak malu. Ternyata si Mbah ini bukan Muslim, tapi seorang Buddhis. Oh bodohnya aku. Ini ‘kan Jawa Tengah bukan Kampung Makassar di
Jakarta. Dan aku berada di Magelang. Tentu saja ada banyak pemeluk Buddha di
kota ini. “Oh jadi si Mbah agamanya Buddha yah? Saya kira tadi si Mbah
memanggil asma Allah.”
“Ah
mas, kalo masalah agama, si Mbah ini orang bodoh, jadi gak tahu apa-apa. Maklum
orang kampung. Apakah
si mbah ini orang Buddha? Si
Mbah sendiri jarang ke vihara. Nanti kalau si Mbah ini ngaku-ngaku orang Buddha malah mempermalukan orang-orang vihara.”
Nampaknya
si pak tua ini menyembunyikan sesuatu dalam jawaban yang terkesan
ditutup-tutupinya itu. “Jadi kalau Mbah
memanggil-manggil Amitabha, itu
gunanya untuk apa Mbah? Bukannya meminta hujan berhenti atau pembeli banyak
berdatangan?” godaku. Ada sedikit rasa merendahkan dalam pertanyaanku. Dari
kecil sampai pradewasa aku dididik dalam Islam militan.
Guru-guru mengajiku
mengajarkanku bahwa hanya Islam agama yang diridhoi oleh Allah ta’ala. Agama
lain sudah sesat dan palsu. Kitabnya diubah-ubah sekehendak udel sendiri. Orang Kristen menuhankan
manusia, Tuhannya ada tiga, Tuhan Bapa, Tuhan Ibu, dan Tuhan Anak. Orang Buddha dan Hindu
memuja-muja patung yang mereka pahat sendiri. Pokoknya hanya ajaran islam yang
luhur, murni, terakhir,
dan sempurna.
Waktu
aku SMP aku dibawa saudara ke Tangerang melihat-lihat vihara dekat rumahnya.
Banyak orang keturunan Cina yang membawa buah-buahan ke depan patung. Wah bodoh
sekali mereka patung kok
dikasih makan buah-buahan. Tapi saudaraku yang lebih tua segera menukas,
“Setidaknya Tuhan mereka
tidak meminta persembahan makhluk bernyawa,” katanya. Aku terlalu kecil untuk
memahami makna kalimatnya. Orang-orang Cina
itu cuma pemuja Buddha dan Konghucu yang tung-tung
cep, alias orang-orang
yang muja-muji dewa dewi
tunggak-tunggik kemudian nancepin hio
cuma untuk minta diberkati secara material. Itulah apriori yang ada dibenakku
selama ini.
“Mas,
si Mbah ini orang bodoh, udik, dan tua, gak ngerti ajaran-ajaran Buddha dan agama.
Jadi kalau si Mas mau tanya
ini itu, si Mbah gak bisa jawab. Berapa kilo meter
dari sini ada vihara Mendut, Mas
bisa tanya tentang ajaran Buddha sama wiku-wiku di sana (orang tua ini masih
menyebut biksu dengan panggilan wiku). Tapi Mas, buat si Mbah, agama bukan masalah
ajaran, tapi masalah laku hidup, masalah roso
dan eling. Kalau si Mbah
menjapa ‘Nammo
Amitabha’, yang
artinya terpujilah Amitabha, bukan berarti memanggil-manggil dewa dari alam
lain buat membantu si Mbah, tapi membuat si Mbah ini selalu eling, sadar akan setiap
laku, dan roso dalam sukma si Mbah.
Apakah dengan si Mbah
memanggil Namo Amitabha, Amitabha akan datang menghentikan hujan
dan mendorong para pembeli berbondong-bondong ke warung sini? Tentu tidak. Sama sekali tidak
terpikir demikian dalam benak si Mbah.
Berdagang itu ada kalanya laku, ada kalanya tidak. Itu sudah biasa Mas. Hari itu ada kalanya terik,
ada kalanya mendung, itu sudah fitrah alam Mas. Buat apa membawa-bawa nama yang suci
hanya untuk kepentingan pribadi kita yang dangkal dan sempit?
Hujan ini datang
karena suatu sebab, dan akan berakhir karena suatu sebab. Biarkan saja terjadi
atas dasar siklus alam. Menurut umat Buddha, Buddha Amitabha itu tinggal di
sebuah alam surga penuh sukacita yang bernama Sukhowati. Mereka yang
memanggil-manggil namanya ketika meninggal akan dibawa ke alam itu untuk
belajar menjadi seorang Buddha. Itu kata umat Buddha, tapi buat si Mbah gak percaya.”
“Lha
kalau si Mbah gak percaya kenapa masih memanggil-manggilnya?” sergahku
keheranan.
“Semua
itu cuman cerita Mas. Amitabha itu sebenarnya kita sendiri. Surga Sukhowati itu
adalah tubuh kita sendiri. Ketika si mbah menjapa Nammo Amitabha,
bukan berarti si Mbah
memanggil suatu dewa atau makhluk
Ilahi untuk datang mewujud di
hadapan saya, sama seperti kita yang duduk berhadap-hadapan seperti ini.
Memanggil Amitabha berarti membangunkan roso,
eling dan laku lampah yang mulia dalam diri kita, sehingga tubuh ini bukan untuk
diri sendiri tapi untuk menjadi alat kebaikan bagi sesama, Mas.
Menjapa Namo
Amitabha berarti
menghadirkan ingatan dan kesadaran akan berartinya hidup ini dan menggugah
pikiran ini untuk menjadikan kehidupan nyata kita sebagai surga sukhowati,
suatu tempat agar semua makhluk mendapatkan kesempatan hidup yang layak, jauh
dari permusuhan dan kebencian. Apa benar surga sukhowati itu ada dan kita
masuki ketika si Mbah nanti
mati? Si mbah juga gak
tau. Yang si Mbah tahu itu
cuma cerita.
Agama
itu cuman metoda, Mas, bukan
tujuan. Gusti Allah itu bukan seseorang yang duduk di suatu surga atau suatu
zat tertentu, tapi suatu idea mulia. Menyembah Gusti Allah itu artinya membangunkan diri
ini agar tetap eling dan menerima hidup apa adanya dan mengusahakan yang
terbaik dari-Nya. Bukan
memuja-muji suatu pribadi lain di luar diri. Dulu waktu muda, si Mbah orang yang suka memberontak
dan berpikir bebas. Si Mbah
mempelajari ajaran-ajaran Tan Malaka, Karl Marx, dan Lenin.
Dan semua ini membikin si Mbah analitis, gak mudah percaya dengan cerita-cerita
tentang surga dan neraka. Tapi justru dengan itu si Mbah bisa dengan
mudah melihat arti rohani di balik kisah-kisah
indah dan menawan itu. Diri inilah Amitabha itu. Diri inilah Avalokitesvara yang sedang berkarya di
bumi. Diri inilah Buddha. Siapa yang memahami diri yang sesungguhnya
ialah yang telah sadar, yang eling, yang roso-nya melimpah dengan ketenangan
dan kelembutan. Entah itu para wiku, ulama, pedande, ataupun umat awam semua adalah
sama, calon-calon Sang Buddha,
sang eling dalam diri ini. Begitulah Mas, apa yang bisa si Mbah ceritakan.”
Aku
tergagap-gagap mencoba memahami apa yang diulasnya. Aku tak pernah mendengar
hal serupa dari guru ngaji, ulama dan da’i. Ironis sekali, justru dari seorang
penjual angkringan seperti si Mbah
ini aku mendapatkan pelajaran berharga, sekalipun apa yang ia ajarkan harus
memakan waktu bertahun-tahun agar tembok kekeraskepalaan ini bisa ditumbangkan.
Namun apa yang ia ajarkan bagaikan api kecil yang membakar sumbu dalam otakku.
Kelak sumbu ini akan mengantarkan si api kepada bensin yang siap dibakar.
Melihat
aku yang tertegun kebingungan, si Mbah
berkata: “Para agamawan, Mas,
seperti para penjaja yang berjualan air segar di pinggiran sungai yang jernih.
Banyak dari mereka tidak rela para pembelinya menyadari bahwa air jualan itu diambil
dari sungai jernih di belakang kios mereka. Untuk itu mereka membangun kios
berderet-deret panjang dan tinggi menjulang, agar para pembeli tidak menyadari
kehadiran air sungai segar dan jernih di belakangnya.”
Gila.
Gila. Orang tua ini seakan-akan mampu membaca isi kepalaku dan memotong jalur
kebingungan dalam otakku. Aku terdiam membatu. Mau didebat gimana, dia memang benar, mau di-amini gimana,
aku masih terlalu kukuh dengan kecetekan cara berpikir Islamku ini.
“Mas,
hujannya sudah berhenti,” sapa si Mbah membangunkan lamunanku. Waduh. Aku baru
ingat. Penjaga losmen tadi pagi bilang kalau losmen akan ditutup jam 11 malam
demi keamanan. Segera aku membayar jajananku dan mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada si Mbah telah
meluangkan waktu mengobrol dan mengajariku. Aku katakan bahwa aku akan kembali
ke Jakarta besok siang, tapi kalau ada waktu, aku akan kembali ke Magelang dan
bersua lagi dengan si Mbah. Pak tua ini hanya tertawa renyah dan menepuk-nepuk
pundakku. “Hati-hati di jalan, Mas.”
Pemahamanku
Saat Ini
Perlu
bertahun-tahun bagiku untuk mengendapkan perkataan si Mbah itu ke dalam relung
hatiku. Memang begitu sukar tembok fanatisme dan neurosis agama lahiriah ini
untuk ditembus. Namun pengalaman itu menjadi poin pemicu dalam diriku untuk
mempelajari agama dan kebatinan lewat beragam penelaahan filsafat, psikologi,
budaya, dan kebatinan. Dan pencarian ini mengantarkanku pada statement bahwa apa yang si Mbah itu
cocok bagiku.
Menurut
telaah studi yang kulakukan secara otodidak tentang kebatinan dalam agama
Buddha, aku temui bahwa Buddha Amitabha tertulis dalam kitab Amitayus Sutra.
Sangat memungkinkan bahwa kitab ini ditulis oleh seorang filsuf dan Yogi
Nagarjuna, kira-kira 500 tahun setelah Gautama wafat. Dalam Samadhi yang
mendalam Nagarjuna “melihat” (tolong perhatikan makna tanda petik itu) Gautama
sedang mengajar murid-muridnya. Gautama menceritakan tentang adanya seorang
Buddha yang bernama Amita/Amida Buddha.
Buddha ini tadinya adalah seorang raja
yang di puncak kejayaannya, ia malah memutuskan untuk menempuh jalan kesucian.
Ketika ia mencapai kesadaran tertinggi atau manunggal dengan semesta ia
digelari Amida Buddha. Amida berarti cahaya tanpa batas. Buddha berarti
kesadaran, atau yang sadar. Buddha Amitabha berarti cahaya kesadaran tanpa
batas. Yang berarti personifikasi dari Sang
Ilahi itu sendiri, samudra
kesadaran tanpa batas. Dalam misinya mencerahkan umat manusia, Buddha Amitabha
dibantu oleh dua orang boddhisatwa
yaitu Boddhisatva Avalokitesvara,
yang bagi orang Cina di sebut
Dewi Kuan Im, dan Boddhisatva Maha
Stamaprapta.
Avalokitesvara adalah personifikasi dari sifat
kelembutan, cinta kasih, kemaharahiman, dan pengayoman alam semesta,
sedangkan Maha Stamaprapta adalah
personifikasi dari kebijaksanaan.
Bagi orang yang mata batinnya tajam, tentu saja semua ini sudah jelas, bahwa
sebenarnya Amitabha Buddha itu adalah
alegori perjalanan spiritual Buddha Gautama itu sendiri, yang mendesak dan
mengundang si pembaca untuk menyikapi hidup ini dengan tujuan-tujuan mulia,
bukan sekedar hidup, akhirnya mati, dan berharap masuk surga.
Baik
itu Amitabha, Avalokitesvara dan Maha Stamaprapta adalah aspek-aspek mulia dalam diri kita sendiri. Amitabha
mencerminkan aspek kerinduan akan kesempurnaan, Avalokitesvara mencerminkan cinta kasih, dan Maha Stamaprapta mencerminkan kebijaksanaan. Bukankah ketiga sifat
ini; kerinduan akan kesempurnaan (summum
bonum), cinta kasih (agape) dan kebijasanaan
(sofia) adalah sifat mendasar yang
mewarnai mereka penempuh jalan mistik atau kebatinan?
Nagarjuna
menuliskan Amitayus Sutra
sebagai upaya revolusioner, karena pada saat itu para biksu dari Aliran Selatan
menjadikan jalan kebikuan sebagai pelarian kekanak-kanakan, childish escapism, dari kesumpekan hidup. Ajaran Buddha menjadi begitu
dogmatis dan hanya bertumpu pada tafsir-tafsir elitis biksu saja. Sementara
umat awam hanya memahami ajaran Gautama dari luarnya saja, para biksu malah
disibukkan dengan
perbantahan dogma abstrak, winaya dan
perselisihan antarsekte. Mereka sibuk dengan “nirwana-nya” sendiri.
Adalah
Nagarjuna, seorang yogi dan filsuf besar, bersama biksu dan yogi dari utara
yang membidani Aliran Utara yang nantinya disebut Mahayana, kendaraan besar. Kenapa
disebut kendaraan besar? Karena
kesucian dan kebuddhaan bukan hanya dicapai oleh sekelompok petapa berkepala
pelontos saja (calon arahat), namun
oleh semua orang, pria dan wanita umat awam yang membaktikan hidupnya dalam
praksis kehidupan sehari-hari (jalan kebodhisatwaan).
Diri inilah Amitabha, diri inilah Avalokitesvara, dan diri inilah Buddha,
yang telah eling dalam roso yang mendalam. Itulah kata si Mbah.
Dua tahun
setelah kejadian itu, ketika aku mulai memahami lebih dalam perkataan si Mbah,
aku kembali menapaki jalanan kota Magelang. Aku mencari kedai angkringannya.
Namun sia-sia. Tempat angkringan itu telah berganti penghuni. Si penjual baru
mengatakan bahwa si Mbah telah meninggal setahun sebelumnya. Dia sendiri tidak
begitu kenal dengannya dan tidak tahu di mana pusara beliau. Mengalir air mata
ini. Bersama dengan menangisnya langit malam Magelang saat itu. Satu sesal yang
tak kunjung berakhir dalam diri ini, kenapa aku tak sempat bertanya nama si
Mbah. Nama apakah yang cocok buat aku sematkan padanya? Mbah Buddha? Mbah
Amitabha? Rasanya tidak cocok. Mungkin yang cocok si Mbah, Sang
Atheis Pietis. Atheis yang Suci…
“Sopnya
sudah siap, Pah. Cepet
dimakan mumpung lagi panas. Dari tadi kok Papah cuma menatapi jendela
melihat hujan saja?”
Aku
terbangunkan dari lamunanku oleh suara merdu istriku. Sambil menyodorkan sop
buntut. Loh kok seperti
kebetulan. Hujan deras, malam yang dingin dan semangkuk sop buntut panas plus
nasinya. Tanpa sadar aku bergumam, “Amitabha.
Amitabha” “Ihhhh Papah bicara apa sihhh?” seru
istriku yang keheranan.
“Oh
tidak… tidak… itu artinya men-syukuri hidup
kesempatan hidup yang indah ini, yang memperkenalkan saya pada hidup yang mulia
bersama seorang istri cantik yang setia.” Kataku mencari-cari alasan. Habis mau
jelasin panjang lebar gimana?
“Ahhhh
papah ini ada-ada saja.” katanya
“Ayo kita makan bersama di meja makan saja Mah, jangan di ruang kantor.”
Istriku
tersenyum, mencoba menebak-nebak apa yang dari tadi ada dalam benakku ini. Demikianlah sebuah kisah yang saya
harapkan dapat memberi kita sedikit pencerahan dalam pengembaraan spiritual.
Hilangkan sekat-sekat kebencian. Sekat-sekat
pemisahan. Agama hanya sekedar nama. Tidak ada artinya tanpa perbuatan nyata.
Kasihilah sesamamu manusia. Terima kasih.
Diedit
dan dirapikan oleh Hendry Filcozwei Jan
0 komentar:
Posting Komentar