Jam di ponsel-ku menunjukkan pukul 11.30 WIB, Minggu, 19 Desember 2038. Aku sedang duduk di sofa, mengamati sekelilingku. Tak banyak yang berubah. Di depanku ada gazebo, dan di depannya ada perpustakaan. Di sisi kiriku ada kolam ikan. Suara umat membaca paritta di Dhammasala masih terdengar.
Foto John tampak di layar ponselku yang menyala, tanda ada panggilan masuk. Untung saja ponsel-ku mode silent. Kuangkat telepon dari putra sulungku. “Pa, pujabaktinya sudah selesai?” tanya John. “Belum, kayaknya sebentar lagi. Sekarang sedang paritta Ettavata,” jawabku. “Oke Pa, sampai jumpa nanti malam,” tutup John. Sore ini John dan Jenny istrinya baru akan terbang dari Bandara Changi ke Bandara Soeta.
Hari ini aku mengantar kedua cucuku, Jessica dan Richard ke vihāra untuk ikut Sekolah Minggu Buddhis (SMB). Roy, putra keduaku sakit. Rissa, istri Roy tidak ikut ke vihāra karena harus menyiapkan sarapan untuk Roy.
Sejak kepindahan kami ke Singapura, aku, John, dan Roy jarang bertemu teman-teman kami. Maklumlah, semua punya kesibukan masing-masing. Tiga tahun terakhir kami tidak pulang ke Indonesia. Saat liburan, cucu-cucuku selalu minta liburan ke Eropa.
Pujabakti sudah selesai. Aku menyalakan suara ponsel-ku. Suasana ramai, tapi tak berlangsung lama. Setelah ngobrol basa-basi, umat meninggalkan vihāra karena berbagai keperluan masing-masing.
Suasana kembali sunyi. Sayup-sayup terdengar lagu Buddhis, “Sang Guru” dari ruang SMB yang tertutup rapat. Lagu ini mengantarkan pikiranku ke masa silam. Sekitar 15 tahun lalu, aku selalu memutar lagu ini bersama lagu Buddhis lain di rumah kami saat menjelang Waisak.
Ini salah satu lagu favorit Celine, istriku. Alangkah bahagianya jika saat ini Celine duduk di sampingku menunggu cucu kami yang ikut SMB. Aku yakin, kami pasti duduk di sofa ini jika tidak datang bersama kedua putra kami. Kaki kami sudah tidak kuat untuk naik tangga tanpa dituntun. Kami pasti akan duduk di sofa ini usai pujabakti, seperti kebiasaan kami belasan tahun lalu.
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Tiba-tiba saja kedua putraku sudah selesai kuliah, bekerja, berkeluarga, dan punya anak, aku sudah jadi kakek. Namun, terkadang aku merasa waktu berjalan sangat lambat. Kesedihan dan kesepian sangat menyiksaku sejak ditinggal Celine, belahan jiwaku.
“Sampaikan pada jiwa yang bersedih, begitu dingin dunia yang kau huni, jika tak ada tempatmu kembali, bawa lukamu biar aku obati, ...” nada dering ponsel-ku berbunyi. Aku kembali ke dunia nyata setelah lamunan panjang tentang kenangan bersama Celine. Telepon dari Aldi, temanku yang mengajak ketemuan.
Aku sangat suka lagu “Jiwa yang Bersedih” yang dipopulerkan Ghea Indrawari pertengahan tahun 2023 itu. Terdengar sedih, namun aku menikmatinya meski air mata menggenang di kedua mataku. Aku suka nadanya, juga syairnya, “Menangislah, ‘kan kau juga manusia, mana ada yang bisa, berlarut-larut, berpura-pura sempurna, ....”
“Yeye* ...,” teriak Jessica dan Richard yang baru keluar dari ruang SMB. Aku cepat-cepat menyeka air mata. Anicca, segala sesuatu yang berkondisi tidaklah kekal. Istilah ini sudah lama aku kenal dari buku Dhamma. Sangat mudah diucapkan saat kita menasihati orang lain. Ketika mengalaminya sendiri, sering kali kita sulit menerimanya.
“Celine, semoga terlahir di alam bahagia,” ucapku lirih.
* Yeye = panggilan untuk kakek dari pihak Papa dalam bahasa Mandarin.
Dikutip dari Buletin KCBI edisi November 2023 halaman 26/27 karya Jaya Ratana (penulis bisa dihubungi dengan cara klik tulisan nama penulisnya).
0 komentar:
Posting Komentar