Serial Trio Vihara: Renungan di Awal Tahun …

Seri Trio Vihara

Jaya Ratana

*********************************************************************************************

Vivi Muditavati, gadis manis berbadan gempal, berbakat jadi pemimpin, tempat curhat kedua teman akrabnya, ia anak yatim piatu. Hani Filianti, agak tomboy, paling rame, selalu jadi penyegar suasana, sering muncul dengan ide brilian, tapi kadang idenya konyol. Rara Dewi, suka travelling, doyan jajan, agak penakut, dan setia kawan. Vivi, Hani, dan Rara adalah aktivis Sekolah Minggu Buddhis (SMB), mereka bertiga sangat kompak, teman-teman di vihara menyebut mereka Trio Vihara.

*********************************************************************************************

Tak terasa, sekarang sudah tahun 2025. Liburan sudah selesai, kembali memulai aktivitas keseharian. Karyawan kembali bekerja, mahasiswa kembali kuliah, dan pekerja lain pun demikian. Ibarat menulis, kita membuka lembaran halaman baru sebuah buku, mulai “menulis” (baca: melakukan) apa yang akan kita lakukan selama 1 tahun ini, yang akan menjadi fondasi kehidupan kita di masa depan.

Vivi melangkahkan kaki memasuki halaman vihara yang ditumbuhi sebuah pohon bodhi yang besar. Vivi menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan udara pagi yang segar. Hari ini, Minggu, 5 Januari 2025, hari Minggu pertama di tahun 2025. Rutinitas dari tahun ke tahun untuk SMB (Sekolah Minggu Buddhis) adalah perayaan hari Metta. Hari ini tugas Vivi untuk mengisi Dhamma.

Namo Buddhaya, selamat pagi Hani, selamat pagi Rara …” sapa Vivi ceria. “Pagiii …” teriak Hani dan Rara secara bersamaan. Kemudian ketiganya ngobrol sambil menyiapkan keperluan SMB. Sesekali ketiganya tertawa gembira.

*  *  *  *  *  *  *  *  *  *  *

“Ssst … adik-adik, tenang. Jangan ngobrol dulu. Sekarang Ci Vivi mau cerita. Suasana yang tadinya berisik berubah jadi tenang. “Adik-adik tau nggak, ini hewan apa?” Vivi menunjukkan gambar seekor burung. “Cici, itu burung …” teriak adik-adik SMB. “Iya, benar. Ini seekor burung. Ini induk burung atau mama burung. Mama burung ini memiliki 2 ekor anak yang masih kecil di sarangnya di atas pohon. Setiap hari mama burung ini pergi mencari makan, kemudian kembali ke sarang untuk menyuapi anaknya.

 

Suatu hari ada seorang remaja yang sedang bermain katapel. Biasanya ia menggunakan kaleng bekas susu yang ditumpuk sebagai sasarannya.  “Ah bosan, aku akan cari sasaran lain,” pikirnya.

Dilihatnya ada seekor burung sedang mencari makan di atas tanah. Ditariknya karet katapel, dibidiknya burung itu. Sesaat kemudian batu kecil yang jadi peluru katapel itu tepat mengenai burung. Burung itu menggelepar kesakitan. Ia berusaha bangkit, lalu terbang. Baru terbang sejenak, ia terjatuh. Ia berusaha bangkit lagi, mencoba terbang lagi, lagi-lagi terjatuh. Burung itu terbaring di tanah, menerjang-nerjangkan kakinya tanda kesakitan. Setelah beberapa saat, burung itu diam. Ia mati.

Remaja yang melihat burung itu tergeletak mati berteriak kegirangan, “Horeee … aku berhasil.” Remaja itu berjalan mendekat ke burung yang sudah tergeletak. Diambilnya, kemudian berpikir sejenak. “Ah untuk apa diambil. Untuk diperlihara tidak bisa karena sudah mati. Digoreng, burung kecil itu tak lazim dimakan,” pikirnya. Lalu dilemparkannya kembali bangkai burung itu, lalu ia pulang.

“Adik-adik, bolehkah kita melakukan hal seperti yang dilakukan oleh remaja itu?” tanya Vivi. “Tidaaak …” jawab adik-adik SMB. “Kasihan burung itu,” jawab adik-adik. “Iya, kita tidak boleh melakukan itu. Cici mau tanya, ada berapa burung yang mati?” tanya Vivi. 

“Satu ekor …” jawab adik-adik SMB. “Salah …” kata Vivi. “Dengarkan dulu kelanjutan cerita Ci Vivi,” Vivi berhenti sejenak. “Burung yang mati ini adalah mama burung. Dua ekor anaknya yang ada di dalam sarang masih kecil, belum bisa terbang dan belum bisa mencari makanan sendiri. Beberapa hari kemudian kedua anak burung itu juga mati kelaparan karena tak ada yang menyuapi mereka makan. Jadi akibat ulah remaja tadi, ada 3 ekor burung yang mati,” Vivi mengakhiri ceritanya. 

“Adik-adik, kita tidak boleh menyakiti makhluk hidup, apalagi melakukan pembunuhan. Adik-adik masih ingat, pembunuhan itu melanggar Pancasila Buddhis sila ke berapa?” Vivi bertanya kepada adik-adik SMB. “Sila pertama Ci …” teriak mereka. “Iya, benar …” Vivi memberi apresiasi dengan bertepuk tangan.

“Baiklah adik-adik, ceritanya sudah selesai. Sekarang mari berbaris, Ci Hani dan Ci Rara akan membagikan snack,” Vivi menyampaikan pesannya. Hani dan Rara sudah bersiap membagikan bungkusan berisi roti dan segelas air mineral. “Adik-adik, setelah menerima snack, kita akan berjalan ke teras depan vihara. Kita akan makan snack di sana,” kata Vivi.  

Adik-adik SMB duduk di teras vihara beralaskan karpet. Mereka menghadap pohon bodhi. “Adik-adik, silakan dimakan rotinya. Sambil makan, Cici mau kasih tau bahwa tiap tanggal 1 Januari kita memperingati hari Metta, hari cinta kasih. Adik-adik lihat di bawah pohon bodhi ada beberapa burung sedang mencari makan. Cici Hani dan Ci Rara akan taburkan beras ini ke sana supaya burung-burung itu mendapatkan makanan,” kata Vivi. 

Adik-adik SMB memakan roti yang tadi dibagikan, burung-burung memakan beras yang ditaburkan oleh Hani dan Rara. Hari ini cuaca cerah, angin bertiup semilir. Vivi, Hani, dan Rara memandangi adik-adik dan burung-burung yang bahagia menikmati makanan mereka. “Semoga tahun ini cerah seperti cuaca hari ini dan kita semua berbahagia,” bisik Vivi. “Sadhu … sadhu  … sadhu …,” balas Hani dan Rara.  

Renungan: “Semua makhluk hidup ingin hidup bahagia. Perlakukan yang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan.” Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengarkan ungkapan, “Kalau tak ingin dicubit, jangan mencubit.”

 

Dikutip dari Buletin KCBI edisi Januari 2025 halaman 25/26 karya Jaya Ratana (penulis bisa dihubungi dengan cara klik tulisan nama penulisnya).   


0 komentar: