Hendry Filcozwei Jan
Senin
malam (06-06-2005) penulis dan istri sedang menyaksikan acara di TV.
Karena tidak ada acara bagus, penulis memindahkan-mindahkan channel TV.
Akhirnya penulis dan istri sepakat menyaksikan reality show mengharukan
(yang kini memang sedang jadi trend). Tayangan yang berisi kebahagiaan
orang yang terpilih untuk mendapatkan Rp 5.000.000 (terkadang lebih)
untuk dibelanjakan. Memang jumlahnya uangnya tak sebesar tayangan
sejenis (yang diadaptasi dari sebuah program TV karya Masato Ochi).
Meski begitu, uang sebesar itu tetaplah jumlah yang fantastis bagi
mereka. Mungkin seumur hidup belum pernah mereka memegang uang sebanyak
itu.
Hampir setiap menyaksikan acara (yang berisi kisah menolong orang-orang tak mampu: memberi uang, memperbaiki rumah, keiklasan menolong orang, membalas budi, memperbaiki sekolah, dll.), penulis menitikkan air mata haru. Banyak pelajaran yang bisa dipetik. Tapi tayangan yang kami saksikan kali ini lain. Why? Setelah menerima uang, sang penjual siomay keliling itu mengucapkan terima kasih. Kami tak sempat mendengar secara jelas (karena volume suara TV kecil, takut membangunkan si kecil) apa yang diucapkan penjual siomay yang menjajakan dagangannya dengan sepeda itu. Tapi kata-kata terakhirnya “Sadhu… sadhu… sadhu…”
Hampir setiap menyaksikan acara (yang berisi kisah menolong orang-orang tak mampu: memberi uang, memperbaiki rumah, keiklasan menolong orang, membalas budi, memperbaiki sekolah, dll.), penulis menitikkan air mata haru. Banyak pelajaran yang bisa dipetik. Tapi tayangan yang kami saksikan kali ini lain. Why? Setelah menerima uang, sang penjual siomay keliling itu mengucapkan terima kasih. Kami tak sempat mendengar secara jelas (karena volume suara TV kecil, takut membangunkan si kecil) apa yang diucapkan penjual siomay yang menjajakan dagangannya dengan sepeda itu. Tapi kata-kata terakhirnya “Sadhu… sadhu… sadhu…”
Memang dari penampilannya, kita tak menyangka bapak yang tinggal di
daerah Tangerang ini adalah keturunan Tionghua, namanya The Shian Hin.
Itu saja yang menarik? Bukan, bukan hanya karena dia seorang warga
keturunan. Setelah ditemani Peggy Melati Sukma (sang presenter)
berbelanja, Peggy mengatakan “Sesuai dengan apa yang dikehendaki Ko
Shian Hin sewaktu menerima rejeki dari kami, sekarang kami sudah berada
di sebuah mushola di dekat kediaman Ko Shian Hin. Sekarang Ko Shian Hin
akan menyumbangkan sebagian rejeki yang didapatkannya untuk mushola”
ujar Peggy dengan mata berkaca-kaca.
“Sebuah contoh yang mengharukan. Seorang Ko Shian Hin memberikan dana
kepada mushola yang diterima langsung oleh Pak Haji (pengurus mushola).
Kita harus belajar banyak dari seorang Ko Shian Hin, sebuah contoh
persahabatan, kekeluargaan tanpa pandang suku, agama, dan ras. Semoga
ini menjadi contoh dan inspirasi bagi kita semua” lanjut Peggy.
Di akhir acara, sebelum berpisah, Ko Shian Hin mengucapkan terima
kasih lalu mendoakan Peggy sambil menyentuh kening Peggy. Dari tayangan
sekilas, penulis berkeyakinan, selain sebagai pedagang siomay keliling,
Ko Shian Hin juga seorang Pandita. Salut buat Ko Shian Hin, di tengah
kemiskinan yang mendera, beliau rela memberikan sebagian uang yang
didapatnya untuk berdana. Sebuah contoh tentang seorang Buddhis yang
mempraktikkan ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Note:
Mungkin saat ini kita sedang bahagia karena menuai karma baik perbuatan kita, tapi jangan lupa untuk tetap menebar karma baik. Apa yang kita petik, akan habis bila tidak ditanam lagi. Begitulah yang telah dicontohkan The Shian Hin.
Mungkin saat ini kita sedang bahagia karena menuai karma baik perbuatan kita, tapi jangan lupa untuk tetap menebar karma baik. Apa yang kita petik, akan habis bila tidak ditanam lagi. Begitulah yang telah dicontohkan The Shian Hin.
Dikutip dari: Dhammacitta.org
0 komentar:
Posting Komentar