Di daerah itu penulis tidak punya kenalan, belum punya HP, tak ada pilihan selain berjalan kaki sekitar 2-3 kilometer. Itu bukanlah jarak yang jauh bagi penulis, tapi yang jadi permasalahan adalah jalanan itu sepi dan gelap. Sisi kiri dan kanan jalan banyak yang masih berupa sawah dan di satu tempat ada pohon bambu yang rimbun. Meski termasuk penakut, hanya itulah yang terlintas di benak penulis: jalan kaki untuk segera sampai ke mess karyawan.
Menekan perasaan takut dan bulu kuduk yang merinding, penulis berusaha terus berjalan. Kegelapan akan berkurang bila dari arah belakang atau depan ada cahaya dari kendaraan yang melintas. Jarang sekali kendaraan yang melintas. Tapi cahaya kendaraan itu pun tidak mengurangi rasa takut penulis.
Di kegelapan penulis takut makhluk tak tampak yang biasa disebut hantu dan ketika ada cahaya, penulis takut yang melintas adalah orang jahat yang bisa saja berhenti untuk menodong atau bahkan membunuh bila melawan.
Ada sekitar 3 kali cahaya dari arah belakang menerangi jalan penulis, lalu menghilang setelah melewati penulis. Baru sekitar seperempat perjalanan, sebuah mobil berhenti persis di sisi kanan penulis.
Penulis agak kaget. Seorang Bapak yang menyetir membuka jendela mobilnya lalu berteriak, “Mau ikut ke Palasari?” Palasari adalah nama daerah, dan sebelum sampai ke Palasari, mobil itu pasti akan melewati depan mess karyawan.
Tanpa sempat berpikir apa-apa, spontan penulis menjawab “Ya, Pak.” Tak ada prasangka, bagaimana jika pengemudi itu orang yang punya niat jahat. Hanya jawaban spontan karena penulis ingin secepatnya sampai ke tujuan.
Untungnya Bapak itu bukanlah orang jahat. Dalam perjalanan kami mengobrol.
“Dari mana Dik?” tanya si Bapak.
“Dari warnet Pak” jawab penulis. “Saya tidak tahu kalau angkot di daerah sini hanya sampai pukul 20.00. Jadi saya terpaksa berjalan kaki” lanjut penulis.
“Betul, angkot di sini hanya beroperasi sampai jam delapan malam” kata Bapak itu.
Sepanjang perjalanan kami mengobrol. Beliau juga bertanya penulis kerja di mana, berasal dari daerah mana, dan hal-hal lain. Singkat kata, penulis sampai ke tujuan. Berulang kali penulis mengucapkan terima kasih atas tumpangan yang diberikan Bapak itu. Bagaikan dewa penyelamat. Beliau hadir pada waktu dan tempat yang tepat.
Apa kaitan pengalaman penulis ini dengan Buddha Dhamma? Hukum tabur tuai atau lebih populer dengan sebutan hukum karma. Apa yang kita tanam, itu pula yang kelak kita petik. Sederhana, mudah dimengerti/ logis, dan sangat adil. Itu salah satu topik yang menarik perhatian penulis dari apa yang dibabarkan Sang Buddha.
Bila mendapatkan hal-hal baik atau musibah, jangan pernah menyalahkan siapa pun. Seperti dalam paritta Brahmaviharapharana yang kita bacakan saat melakukan pujabakti. “Semua makhluk memiliki karmanya sendiri, mewarisi karmanya sendiri, lahir dan karmanya sendiri, berhubungan dengan karmanya sendiri terlindung oleh karmanya sendiri. Apa pun karma yang diperbuatnya, baik atau buruk, itulah yang akan diwarisinya.”
Apa yang dapat dipetik dari pengalaman penulis? Jangan pernah ragu untuk berbuat kebajikan. Diharapkan atau tidak, semua perbuatan yang kita lakukan akan menghasilkan buah. Entah dalam kehidupan sekarang atau di kelahiran berikutnya. Apa yang kita terima, itulah hasil perbuatan kita di masa sekarang atau vipaka dari karma masa lalu kita. Tidak ada kejadian yang kebetulan, semua mengikuti hukum karma. Tidak mungkin Anda berbuat, orang lain mendapatkan buahnya, atau Anda mendapatkan buah dari perbuatan orang lain.
Penulis teringat pada motto dari seorang anggota milis Buddhis yang selalu menulis “Jangan pernah ragu untuk berbuat kebajikan.”
0 komentar:
Posting Komentar