Enak banget kalau saya seperti dia. Selalu beruntung meski dia sering melakukan kejahatan. Apakah benar demikian adanya? Apa iya, hukum karma itu tidak adil? Mari kita renungkan Dhammapada 119-120 ini: Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik, selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk (119). Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk, selama buah perbuatan bajiknya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik (120).
Vipaka atau buah karma (hasil perbuatan kita) berbuahnya memang tidak selalu instan. Ada yang cepat, ada yang lama baru berbuah. Lihatlah orang menanam sayuran seperti bayam dan yang menanam rambutan. Sayuran bisa dipanen dalam hitungan hari tapi rambutan baru bisa dipanen sekian tahun kemudian. Jauh berbeda ‘kan? Tapi yang harus diingat, sebelum panen (memetik hasil), semua dimulai dari menanam terlebih dahulu. Itu berlaku universal (di mana saja).
Dunia Nyata
Anda suka menyaksikan acara di TV swasta? Sebuah acara yang bagus, pihak TV swasta akan panen iklan. Setiap jeda iklan, bisa sampai 20 iklan yang ditayangkan, bahkan lebih. Enak sekali ya? Eit... jangan langsung “iri” dulu. Jauh sebelum panen, mereka (pemilik TV swasta) sudah menanam terlebih dahulu. Dari mulai membeli tanah, bangun gedung, beli peralatan mahal, bayar gaji karyawan, beli atau membuat tayangan yang bermutu. Di awal-awal pemunculannya, seringkali tanpa iklan (belum ada yang mau pasang iklan). Setelah acaranya terbukti bagus, rating tinggi, barulah pengusaha berebut pasang iklan di acara tersebut.
Terkenal dan mendapat uang banyak dari ajang pencarian bakat, mungkin jadi impian banyak orang. Jika menyaksikan acara pencarian bakat, mungkin kita akan berkomentar: wah beruntung sekali pemenang kontes tersebut. Hanya dalam hitungan bulan, mereka jadi terkenal dan otomatis uang mengalir lancar ke kantong mereka. Semudah itukah? Apakah memang hanya sekian bulan saja mereka “menanam” langsung memetik hasil? Sementara di luar sana, ada yang sudah sekian tahun berjuang (menanam) tapi panennya sedikit dan hanya cukup untuk makan.
Apakah memang seperti itu? Ternyata tidak! Sebagian besar pemenang di ajang pencarian bakat, sudah lama menekuni profesi atau setidaknya sudah lama menekuni hobby tersebut. Mereka sudah lama menyanyi (baik di jalanan sebagai pengamen atau sudah lama jadi penyanyi di cafe/night club). Atau sudah lama menekuni dunia sulap (tampil di acara ultah atau di jalanan). Bukan baru belajar seminggu atau sebulan sebelum ikut ajang pencarian bakat pesulap. Jauh sebelum itu mereka sudah menanam.
Dunia Maya
Hasil besar di dunia maya pun demikian. Penulis dulu sempat bingung. Kok ada situs seperti Facebook, Google, Yahoo, Youtube, dan yang lainnya? Facebook menyediakan situs pertemanan, Google menyediakan fasilitas mesin pencari yang memudahkan kita mencari apa pun di dunia maya, Yahoo menyediakan email, Youtube menyediakan tempat bagi kita untuk meng-upload video. Semua layanan itu diberikan secara gratis!!!
Apakah mereka (pemilik situs tidak rugi)? Keluar banyak uang untuk beli domain, sewa hosting, bayar karyawan untuk membuat situs, dan terus memberikan layanan terbaik bagi penggunanya. Semua itu memang tindakan menanam terlebih dahulu. Setelah traffic pengunjung banyak, pemasang iklan pun antri untuk memasang iklan di sana. Barulah mereka memetik hasil.
Sekitar Kita
Rasa iri juga seringkali kita alami ketika melihat “ketidakadilan” hukum karma dalam keseharian kita. Penulis pernah membaca sebuah artikel Dhamma di majalah remaja Buddhis beberapa tahun lalu.
Anak emas atau cucu kesayangan sering dialamatkan kepada penulis artikel tersebut (remaja perempuan ini kita sebut saja L). Saudara kandung dan saudara sepupunya sering memandangnya dengan rasa iri. Iri terhadap semua kebaikan, fasilitas, dan perhatian yang didapatkan L dari orangtuanya, paman, bibi, kakek, dan juga nenek. Setiap nenek punya makanan enak, si L yang selalu dipanggil dan didahulukan. Setiap paman dan bibi pulang dari bepergian keluar kota, si L yang dapat oleh-oleh lebih banyak dan lebih bagus. Begitu juga dari kedua orangtuanya.
Pantaskah perlakuan orangtua, paman, bibi, kakek, dan nenek? Apakah adil mereka berlaku demikian? Kira-kira begitulah “protes” anak/keponakan/cucu lain yang merasa diperlakukan tidak adil. Protes dilakukan secara terang-terangan (mengomel) sampai sikap memusuhi si L.
Adilkah menurut Anda? Jika kita melihat sekilas saja, tentu ini sikap yang tidak adil. Ibarat kita bertemu 2 orang yang terbaring memegangi perutnya. Ketika kita tanya, ada apa? Jawaban mereka sama: sakit perut. Sekilas terlihat sama. Apakah sama? Kita baru dapat memvonis bahwa mereka punya problem sama (dalam kasus L adalah adil atau tidak) setelah kita mencari tahu lebih jauh.
Nampak sama, tapi sebenarnya jauh berbeda. Setelah ditanya, barulah terungkap fakta: seorang sakit perut karena sudah 2 hari tidak makan, sementara itu seorang lagi sakit perut karena kekenyangan. Saling bertolak belakang ‘kan? Sekilas memang terlihat sama, sama-sama sakit perut.
Kesimpulan yang sama juga terjadi pada kisah si L. Penulis coba tuliskan kembali (hanya seingat penulis saja). Mungkin kisahnya tidak persis sama, tapi yang penting inti pesan yang ingin disampaikan si L, bisa tersampaikan dengan baik kepada Anda, pembaca artikel ini.
Ada yang marah dan iri melihat apa yang saya dapatkan dan mengatakan ini tidak adil. Tapi tahukah mereka apa yang terjadi sebelum saya mendapatkan semua kebaikan dan fasilitas ini?
Mereka bersenang-senang dan bermain sesuka hati bersama teman, sementara saya membantu mama di dapur. Ketika papa pulang kerja, saya-lah yang menyediakan segelas teh manis untuk papa sementara yang lain menonton TV. Saudara perempuan saya (sepupu) yang lain asyik bermain dengan boneka kesayangannya atau yang laki-laki asyik main perang-perangan, sementara saya lebih memilih memijit kaki nenek yang capek setelah seharian mengurus tanaman ketika ada acara kumpul keluarga. Saya juga lebih sering menemani kakek dan menceritakan aneka kisah lucu untuk menghibur kakek yang sudah tidak kuat lagi berjalan. Apakah mereka mengetahui dan menyadari ini semua?
Itulah yang sering kita alami dan mungkin juga sering kita lakukan. Kita hanya bisa iri melihat “ketidakadilan” yang terjadi tanpa mau cari tahu apa penyebabnya. Kita hanya ingin memetik hasil tanpa mau menanam. Kita ingin menuai tanpa mau menebar benih. Pantaskah seperti itu? Hukum karma (tabur tuai) sangat adil dan berlaku universal. Memang berbuahnya sering tidak instan, akan berbuah jika kondisinya mendukung. Dan yang perlu kita ingat adalah “Semua berawal dari menanam...”
* Hendry Filcozwei Jan pengelola blog www.vihara.blogspot.com
Dikutip dari majalah Permata Dhamma edisi 23, November 2012 halaman 32-33
0 komentar:
Posting Komentar