Yuk kita berkenalan dengan Ibu Hesti Gayawati, satu dari sedikit guru agama Buddha di Indonesia.
Dalam perkembangannya, Desa Prigi kini terbagi menjadi 5 dusun, yaitu Desa Prigi Tengah, Prigi Timur, Ngrapah, Sambirata, dan Pepe. Penduduk dusun rata-rata adalah petani penggarap perkebunan. Beberapa di antaranya merantau sebagai buruh di Semarang dan sekitarnya, sesudah melewati musim tanam dan panen.
Desa Prigi benar-benar bagaikan desa yang sangat terpencil, jauh dari peradaban modern. Di sana hanya ada sekolah SD. Untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SMP, semua anak harus sekolah ke luar desa yang jauhnya belasan kilometer. Hal ini dialami Hesti Gayawati bersama teman-teman dan para pendahulunya. Setelah lulus dari SD Negeri 1 Prigi, tahun 2000. Hesti melanjutkan sekolah di SMP PGRI 2 Kedungjati (sekarang sekolah ini tutup karena kekurangan murid).
“Pada tahun 2000 sampai 2003 waktu sekolah di SMP, setiap pukul 04.00 WIB saya harus sudah bangun. Jam 05.00 WIB harus sudah mulai jalan kaki cepat bersama teman-teman menuju pertigaan Desa Ngombak yang jauhnya sekitar 14 km. Kami harus tiba di jalan besar sebelum Jam 06.00 WIB. Sebab bila terlambat sedikit saja, akan ketinggalan angkutan umum dan kami harus jalan kaki.
Di tahun 2000, penduduk kota sudah memasuki teknologi internet. Namun di Desa Prigi, listrik saja baru masuk tahun 1997. Kendaraan roda empat pun hanya ada satu orang saja yang punya. Jenisnya Suzuki Carry yang digunakan khusus untuk mengangkut ibu-ibu penjual sayur dan belanja ke Pasar Bringin di Kabupaten Semarang.
Lebih lanjut Hesti mengisahkan, “Ada juga pengalaman tak terlupakan. Saat sampai jalan besar Ngombak setelah menempuh jalan kaki sejauh 14 km. Rombongan kami tak mendapat angkutan umum. Teman-teman sebaya menyerah, karena jelas sudah terlambat masuk sekolah. Akhirnya mereka pulang, tak jadi berangkat sekolah.
Lulus SMP, Hesti Gayawati melanjutkan ke jenjang SMA di SMA Negeri 2, Ungaran, Kabupaten Semarang. Kali ini, perjuangan sekolahnya terbilang lebih mudah daripada sebelumnya. Atas kebaikan Pakdhe-nya yang bernama Sarwi Dwi Prayitno, Hesti menumpang tinggal di rumah Pakdhe-nya di Dusun Siroto, Desa Candirejo, Ungaran. Tepatnya di dekat Kampus Akper dan Akbid Ngudi Waluyo.
Selama tinggal di Pakdhenya yang juga berasal dari Desa Prigi, ia belajar mandiri, karena hanya pulang dua minggu sekali. Di bangku SMA jugalah, Hesti mulai sadar nilai harga diri dan jati dirinya sebagai seorang upāsikā. Hal ini setelah Hesti menjumpai, bahwa ternyata ia adalah murid pertama sekaligus murid satu-satunya yang beragama Buddha. Sejak SMA Negeri 2 Ungaran berdiri tahun 1984, atau pengembangan dari SMA Negeri 1 Ungaran, yang berdiri tahun 1965.
“Di awal sekolah, saya mengalami kesulitan mendapatkan pelajaran agama Buddha, karena belum ada guru pengampunya. Untuk bisa mendapatkan nilai, saya diarahkan sekolah untuk mengikuti pelajaran agama Islam yang diajar Pak Mashudi. Syukurlah, akhirnya saya bisa sekolah dengan tenang dan mendapatkan nilai agama sampai naik ke kelas 3.
Namun di kelas 3 guru agama Islamnya ganti Pak Abu Hanafi yang agaknya corak karakter pribadinya berbeda dengan guru sebelumnya. Ia tetap mengizinkan saya mengikuti pelajaran agama Islam, namun diharuskan membaca syahadat dan masuk agama Islam. Alasannya, di kelas 3 akan ada ujian praktik sholat.
Mempertimbangkan persyaratan itu, dengan tegas saya menolak tawaran pindah agama dan mencoba memberikan pengertian yang baik tentang kebebasan beragama kepada beliau. Setelahnya, saya pulang ke Prigi dan kebetulan bisa berjumpa Pak Susono, guru agama Buddha di bangku SD dulu. Berkat jasa beliau, saya dikenalkan dengan Ibu Prihatiningsih, Penyuluh PNS Agama Buddha di Kabupaten Semarang. Kebetulan, kantor beliau ada di depan sekolahan.
Singkatnya, atas bantuan Bu Prihatiningsih, saya bisa mendapatkan pelajaran agama Buddha di semester I, kelas 3 SMA”, urai Hesti panjang lebar atas pengalaman berharganya.
Hesti menyadari, bahwa semua agama pada dasarnya baik dan mempunyai sifat yang sama, cinta kasih dan kedamaian. Namun untuk berpindah agama karena suatu keadaan yang bukan atas kesadaran sendiri, itu persoalan. Maka sejak peristiwa di awal bangku SMA itu, Hesti mulai membulatkan adhiṭṭhāna.
Tekad itu bermula saat Hesti mengikuti ujian nasional di semester II SMA. Ketika hari jadual ujian agama berlangsung dan semua siswa mendapat lembaran soal ujian, Hesti belum mendapatkan soal. Ia coba tanya ke pengawas, mengapa belum mendapatkan soal. Jawabannya hampir membuat Hesti pingsan. Ternyata sekolah belum mendapatkan naskah ujian dari guru agama Buddha, seperti pada semester pertama.
Sontak Hesti berlari menuju kantor Ibu Prihatiningsih untuk menanyakan soal ujian. Sesudah berjumpa dengan beliau, Hesti lemas hampir ambruk. Soal ujian yang ditunggunya baru saja dibuat dan akan diantarkan ke sekolah. Meski sedih karena waktu ujian telah berjalan dan teman-teman lainnya sudah mengerjakan soal ujian masing-masing, Hesti merasa lega.
Akhirnya ia tamat SMA dengan saddhā tetap teguh. Peristiwa demi peristiwa itulah kemudian yang membuat Hesti bertekad menjadi guru agama Buddha. Apalagi Hesti seperti mendapat ibu baru yang selama itu ngayomi dan ngeyemi dalam meniti ilmu.
Batalkan Ingin Jadi Dokter demi Menjadi Guru Agama Buddha
“Tak bermaksud meninggikan diri, sejak kecil sepertinya saya bukan murid yang terbelakang. Artinya, saya punya kesempatan sekolah dan meraih prestasi yang sama dengan anak-anak yang lain. Bahkan saya yakin, dengan dorongan dan dukungan kuat dari berbagai pihak, saya pasti dapat mewujudkan cita-cita saya, jadi dokter.
Namun dengan pengalaman menghadapi keadaan sulit dan mengharuskan pindah agama dan masih sangat kurangnya guru agama Buddha di Indonesia, saya mengalami titik balik pemahaman. Semenjak itu saya ber-adhiṭṭhāna, jangan sampai adik-adik (generasi penerus) saya nanti mengalami nasib seperti yang pernah saya alami. Mereka harus mendapatkan hak untuk menerima pelajaran agama sesuai agama yang dianutnya.
Maka kemudian, saya memutuskan untuk menjadi guru agama Buddha. Untuk itu saya rela melupakan cita-cita menjadi dokter”, demikian penjelasan Hesti dengan mantap.
Apa yang disampaikan Hesti adalah suatu ikrar pengorbanan. Bahkan mungkin tak akan pernah diucapkan oleh anak-anak pengurus yayasan, dosen, hingga karyawan sekolah tinggi agama Buddha di mana pun. Ini dikarenakan sangat jarang ada pengurus yayasan dan atau dosen-karyawan, yang mau mengarahkan anaknya sendiri kuliah menjadi guru agama Buddha. Sebab kebanyakan di antara mereka sendiri dihinggapi rasa tidak percaya diri. Bahwa jadi guru, apalagi guru agama Buddha itu masih madesu (masa depan suram). Lebih baik sekolah yang lebih mberasi dan ngayani sekaligus membanggakan nama orangtua.
Hesti melanjutkan, “Dengan pertimbangan tidak ingin membebani orangtua dan agar biayanya bisa dialihkan untuk sekolah adik-adik, tahun 2006, setelah lulus SMA, saya mencari informasi tentang perguruan tinggi agama Buddha bermutu yang biaya kuliahnya ringan. Syukur jika ada beasiswa dan hemat biaya hidupnya. Tak lama kemudian, saya menemukan informasi perkuliahan di STAB Syailendra yang menawarkan beasiswa. Bila mahasiswa bisa meraih IPK semester minimal 3.0, maka biaya kuliah dibebaskan alias gratis.
Program beasiswa itu memantik semangat saya untuk berani mencoba. Dengan izin dan restu orangtua, saya kuliah di STAB Syailendra dan tinggal di rumah kos atas biaya orangtua. Pada semester 1, saya belum berhasil karena IPK saya hanya 2.9. Setelah itu saya berikrar lebih kuat lagi dan tak ingin mengecewakan orangtua. Akhirnya, dengan kesungguhan belajar, saya dapat meraih IPK di atas 3.0 mulai semester 2 hingga semester 8 atau sampai lulus.
Pada tahun 2010 saya lulus dan diwisuda sebagai sarjana agama Buddha dengan IPK 3.29. Waktu itu saya merasa bahagia dan puas banget …”.
Terjun di Masyarakat
Menjadi guru agama Buddha adalah cita-cita yang sudah dimantapkan Hesti Gayawati sejak kelas 3 SMA. Di tengah-tengah menempuh kuliah di STAB Syailendra, Hesti sudah mulai menerjunkan diri pada pelayanan masyarakat Buddhis.
Ia sempat mengajar di Sekolah Minggu Buddhis (SMB) Buddha Metta di Watu Agung, Tuntang. Hesti cukup terharu ketika Pak Narto, Ketua Pengurus Wihara setempat mengganti ongkos transpor sebesar Rp. 15.000,- per sekali mengajar. Ganti ongkos transpor itu adalah bentuk keseriusan dan kesungguhan upāsaka upāsikā dalam turut memajukan pendidikan agama Buddha. Dengan demikian, para guru bukan hanya puas telah mendapatkan pengalaman mengajar. Namun guru agama Buddha bisa meningkatkan mutu diri dengan terus membaca buku dan mengikuti perkembangan teknologi yang sudah tentu memerlukan biaya.
Sekarang, Hesti Gayawati telah menjadi guru di lapangan pengabdian yang nyata. Ia mengajar agama Buddha di beberapa sekolah formal, yaitu di SD Negeri 1 Desa Prigi, SMP Negeri 1 Kedungjati, dan SMK Negeri 1 Bancak. Semua ia lakukan dengan mengajar tatap muka dan datang ke sekolah-sekolah tersebut sesuai jadual. Selain itu, ia juga membantu menyediakan soal-soal ujian bagi murid beragama Buddha di SMA Negeri 1 Gubug dan SMK Negeri 1 Karangawen, Demak. Hal ini terpaksa ia lakukan, karena jadual mengajarnya telah penuh. Di sekolah-sekolah formal ini, Hesti Gaya Wati masih berstatus sebagai guru tidak tetap yang bergantung pada honor sesuai kemampuan sekolah.
Guru yang Sangat Aktif
Di luar mengajar sekolah formal, Hesti Gayawati terus saja bergerak tanpa henti untuk kemajuan pendidikan agama Buddha di Grobogan. Ia mengajar SMB di tiga vihara di sejumlah kecamatan berbeda yang terpisahkan jarak 20-an km dari tempat tinggalnya. SMB dimaksud adalah SMB Gavidhati di Wihara Dharmajati, Desa Prigi, Kecamatan Kedungjati, SMB Wihara Dharma Karuna, di Desa Tegowanu Wetan dan SMB Wihara Dharma Maya di Desa Tlogorejo, dua SMB terakhir berada di Kecamatan Tegowanu.
Tak berhenti di kegiatan dunia pelajaran agama Buddha. Hesti terus belajar dan meluaskan pengetahuan agar dapat semakin baik dan meningkat kebijaksanaannya. Ia merasa beruntung dan bersyukur bisa berjumpa dan menjadi bagian dari Ehipassiko Foundation. Sebuah lembaga sosial bercorak Buddhis yang didirikan MoM Handaka Vijjananda dan banyak melakukan aksi Dhamma Humanistik.
Mengenai hal ini, di penghujung wawancara, Hesti menerangkan, “Saya bisa seperti ini karena dukungan dan gemblengan MoM Handaka Vijjananda. Beliau selalu mengingatkan saya untuk terus mengajarkan welas asih tanpa pilih kasih. Setiap hari, saya membacakan tekad Bodhicitta. MoM Handaka adalah salah satu tokoh inspiratif dan favorit saya”.
Hesti yang kini berusia 32 tahun telah berumah tangga dengan Warsito, dan dikaruniai dua orang putra. Tak terbayang bagaimana ia mengatur waktu di tengah kesibukan mengajar, pelayanan sosial, keluarga, dan pribadi. Wanita yang setiap hari menempuh belasan hingga puluhan kilometer untuk mengajar ini, menjadi Abdi Dhamma dengan segala keterbatasannya.
Bila seorang Hesti Gayawati saja mampu bergerak membawa perubahan untuk masyarakatnya. Apalagi para pemuda Buddhis di perkotaan yang lebih lengkap sarana prasarananya. Terlebih bila para pemuda Buddhis di seluruh Indonesia segera guyup bergandengan tangan bergerak bersama. Kira-kira, seperti apa dahsyatnya perubahan yang akan terjadi?
Editor: Metta S.
Foto: Istimewa
0 komentar:
Posting Komentar