Serial Trio Vihara
*********************************************************************************************
Vivi Muditavati, gadis manis berbadan gempal, berbakat jadi pemimpin, tempat curhat kedua teman akrabnya, ia anak yatim piatu. Hani Filianti, agak tomboy, paling rame, selalu jadi penyegar suasana, sering muncul dengan ide brilian, tapi kadang idenya konyol. Rara Dewi, suka traveling, doyan jajan, agak penakut, dan setia kawan. Vivi, Hani, dan Rara adalah aktivis Sekolah Minggu Buddhis (SMB), mereka bertiga sangat kompak, teman-teman di vihara menyebut mereka Trio Vihara.
*********************************************************************************************
Vivi memandang ke luar jendela. Di luar sana beberapa
pengantar melambaikan tangan kepada sanak keluarga yang mereka yang ada di
dalam gerbong kereta api sebagai tanda perpisahan. Seorang anak perempuan kecil
tampak menangis dalam gendongan ibunya. Seorang anak perempuan kecil di dalam
kereta juga menangis. Perpisahan memang sangat menyedihkan, bukan hanya bagi
anak kecil, tetapi juga bagi orang dewasa.
Terdengar suara pengumuman bahwa kereta api dari
Stasiun Bandung dengan tujuan akhir Stasiun Gambir, Jakarta segera akan
berangkat. Vivi menahan air matanya agar tak menetes menyaksikan kesedihan
kedua anak perempuan tadi.
“Hmmm … aku cengeng banget ya?” pikir Vivi. “Mellow
banget,” kata teman-teman Vivi.
“Masa’ nonton film sedih sedikit saja langsung nangis,” kata mereka. Yah mau gimana
lagi, memang dari sono-nya begitu.
Mungkin klep air mata Vivi tidak tertutup secara rapat, jadi air mata gampang
bocor.
Vivi melirik ke kursi di sebelahnya. “Tumben … masih kosong,” pikir Vivi. Hari
ini Sabtu, 1 Juni 2024, akhir pekan. Hari libur, hari lahirnya Pancasila. Nggak biasanya ada kursi kosong.
Tiba-tiba ada seseorang wanita berkaca mata hitam dan
memakai masker berdiri di samping kursi kosong sambil memandangi nomor kursi
yang tertera di dekat jendela. “Huuuh … akhirnya sampai juga, untung nggak ketinggalan kereta,” ucapnya
pelan.
Kereta api bergerak perlahan meninggalkan Stasiun
Kebun Kawung. Vivi lega, tempat duduk di sebelahnya diisi wanita. Setidaknya
relatif aman dari tindakan pelecehan seksual pria tak bertanggung jawab.
“Mau donat …?” tawar wanita di samping Vivi. “Oh
tidak, terima kasih Ci,” jawab Vivi. “Ambil saja, jangan malu,” tawar wanita
itu. ”Ini bukan basa-basi,” lanjutnya. Secepat kilat pikiran Vivi bekerja,
“Ambil … tidak … ambil …,” batinnya. Akhirnya Vivi mengambil satu donat dari
kotak yang disodorkan wanita itu. Wanita itu juga menawari dua penumpang yang berada di depan kami, tapi
mereka menolak.
“Mau liburan ke Jakarta?” tanya wanita itu membuka
percakapan. “Nggg … ada acara reuni teman SMP,” jawab Vivi. “Pas ada waktu
luang, jadi ikutan,” lanjut Vivi. “Oh iya, nama saya Vivi. Nama Cici siapa?”
tanya Vivi. “Sandra …” jawabnya.
Sepanjang perjalanan mereka ngobrol banyak. Perjalanan terasa menyenangkan dan tak membosankan.
Cici Sandra tampak awet muda. Vivi tak menyangka, anak sulung Ci Sandra hanya
berbeda 3 tahun darinya. Sekarang anak sulungnya duduk di kelas XI.
Ci Sandra mengeluhkan anak perempuannya yang sering
berbohong. Beberapa kali ketahuan berbohong, Ci Sandra memarahi anaknya. Apa
hasilnya? Tak ada perubahan, malah semakin menjadi. “Duh … pusing. Mana Papanya
sekarang sedang tugas ke luar kota untuk beberapa bulan ke depan,” kisah Ci
Sandra.
Vivi mendengarkan cerita Ci Sandra. “Mirip dengan
kisah sepupunya,” pikir Vivi. Apa yang dilarang Papa dan Mamanya, itu seolah jadi
anjuran. Padahal tadinya ia anak yang penurut. Mungkin pengaruh dari
teman-temannya. Siapa sangka, akhirnya berubah 180°. Sepupu Vivi kembali jadi
anak penurut seperti sebelumnya. Vivi benar-benar nggak nyangka itu
terjadi.
Tiba-tiba ponsel Vivi
bergetar, tanda ada WA masuk. “Maaf Ci, ada WA masuk,” kata Vivi. Vivi melihat
pesan masuk. Ternyata dari Rara. “Gimana
perjalanannya?” tanya Rara. “Asyik. Ini lagi ngobrol dengan Cici yang duduk di sebelahku. Aku lanjut ngobrol dulu ya? Nanti aku video call deh kalo sudah di Jakarta. Eh iya, titip pesan, jangan lupa minta
bantuan yang lain. Besok ‘kan aku nggak
bisa ke vihara,” pesan Vivi. “Oke deh. Silakan lanjut,” jawab Rara.
Vivi menyimpan ponselnya dan
kembali mendengarkan cerita Ci Sandra. Vivi juga menceritakan kisah sepupunya
yang mirip dengan kisah anak Ci Sandra. Perjalanan Bandung – Jakarta terasa
menyenangkan. Vivi mendapat teman baru. Ci Sandra ketemu teman curhat.
Mereka saling bertukar nomor ponsel.
* *
* * *
* * *
* * *
“Apa kabar Vivi?” terdengar
suara riang Ci Sandra di ujung sana begitu Vivi mengangkat telepon. “Kabar baik
Ci,” jawab Vivi. “Terima kasih atas ceritanya waktu di kereta ya?” kata Ci
Sandra.
“Cerita yang mana nih?” Vivi
tak mengerti maksud Ci Sandra. “Kisah sepupu Vivi yang mirip kayak anak Ci Sandra.
Sekarang perilaku anak Cici juga sudah kembali seperti semula, jadi anak
baik-baik,” Ci Sandra tertawa. “Wah Vivi turut berbahagia Ci,” Vivi ikut
tertawa gembira.
* *
* * *
* * *
* * *
Vivi teringat isi Dhammapada
5, “Kebencian tak akan pernah
berakhir, apabila
dibalas dengan kebencian. Tetapi,
kebencian akan berakhir, bila
dibalas dengan tidak membenci. Inilah
satu hukum abadi.”
Secara naluri, kita ingin membalas seperti yang
dilakukan orang lain kepada kita. Orang baik kepada kita, kita balas dengan
kebaikan. Orang jahat, kita balas jahat juga. Orang memaki, kita balas dengan
makian juga. Orang membenci kita, kita pun akan membenci orang itu.
Bagaimana ajaran Buddha? Buddha mengajarkan kita untuk
terus melakukan kebajikan, apa pun yang dilakukan orang kepada kita. Orang baik
kepada kita, kita juga baik. Orang jahat kepada kita, kita tetap baik.
Anak berbohong (buruk), orang tua balas memarahi
anaknya (buruk). Cara ini ternyata tidak efektif, perilaku anak tetap buruk
(tidak berubah). Tantenya Vivi mengubah caranya dalam merespon perilaku buruk
anaknya.
Tante tetap memantau anaknya. Ketika anaknya bilang
mau pergi belajar kelompok ke rumah si A, Tante konfirmasi ke Mama si A. Ternyata
tidak ada anak Tante di sana! Apakah Tante memarahi anaknya ketika pulang?
Oh tidak. Tante justru memperlakukan anaknya dengan sangat
baik. Waktu anaknya pulang, Tante tidak bertanya penuh curiga. “Wah anak Mama
pasti capek sekali. Ayo ganti pakaian dulu, itu di meja sudah Mama siapkan
makanan kesukaanmu.” Tante tau
anaknya berbohong, tapi Tante selalu memperlakukan anaknya dengan sangat baik. Hal
itu dilakukan terus-menerus. Percaya atau tidak, itulah yang mengubah perilaku
anaknya. Anaknya tidak berbohong lagi. Itu pula yang dilakukan Ci Sandra.
Dikutip dari Buletin KCBI edisi Juni 2024 halaman 27/28 karya Jaya Ratana (penulis bisa dihubungi dengan cara klik tulisan nama penulisnya).
0 komentar:
Posting Komentar