Serial Trio Vihara: Mengalah

 Serial Trio Vihara

Jaya Ratana

 *********************************************************************************************

Vivi Muditavati, gadis manis berbadan gempal, berbakat jadi pemimpin, tempat curhat kedua teman akrabnya, ia anak yatim piatu. Hani Filianti, agak tomboy, paling rame, selalu jadi penyegar suasana, sering muncul dengan ide brilian, tapi kadang idenya konyol. Rara Dewi, suka traveling, doyan jajan, agak penakut, dan setia kawan. Vivi, Hani, dan Rara adalah aktivis Sekolah Minggu Buddhis (SMB), mereka bertiga sangat kompak, teman-teman di vihara menyebut mereka Trio Vihara.

*********************************************************************************************

“Oke adik-adik sekian Sekolah Minggu hari ini. Sekarang adik-adik berbaris untuk mengambil konsumsi yang akan dibagikan Ci Hani dan Ci Rara,” kata Vivi. Seiring dengan itu, terdengar anak-anak SMB tertawa gembira.

“Ci Vivi, Vinka mau ngobrol sama Cici. Cici ada waktu nggak?” tanya Vinka, salah satu anak SMB tingkat SMP. Vinka adalah siswi kelas 8. “Oh ada apa Vinka,” Vivi balik tanya. “Ada hal penting yang ingin Vinka ceritakan,” ucap Vinka. “Oke, nanti ya setelah semua selesai makan. Vinka ambil snack dulu ya? Ci Vivi masih ada di sini sampai sore kok …,” kata Vivi sambil terseyum.

*  *  *  *  *  *  *  *  *  *  *

“Nah … di sini lebih nyaman ‘kan?” Vivi membuka pembicaraan. Vinka mengangguk dan berusaha tersenyum. Mereka berada di foodcourt tak jauh dari vihara. Vivi sengaja memilih tempat duduk di pojokan agar Vinka merasa nyaman untuk curhat.

Setelah kegiatan SMB selesai, Vivi pamit kepada kedua rekannya, Hani dan Rara. Vivi menyampaikan bahwa ia ingin menyediakan waktu untuk mendengarkan Vinka yang ingin curhat.

Di hadapan Vivi sudah ada segelas minuman boba, di depan Vinka ada segelas juice mangga. Suasana foodcourt hari itu cukup ramai, maklum hari Minggu dan jam makan siang.

“Ci, Vinka kesel banget,” Vinka memulai ceritanya. “Vinka ikut lomba nyanyi di sekolah. Mama pernah sampaikan kepada Vinka, menang kalah itu soal biasa. Vinka mengerti itu. Hanya saja Vinka kesel banget, jurinya tidak fair. Waktu final, yang juara itu melakukan kesalahan. Dia lupa lirik dan sempat berhenti menyanyi. Lalu juri membolehkannya mengulang. Vinka nyanyi dengan lancar. Teman-teman juga sudah yakin, Vinka pasti juara. Eh … yang salah lirik malah juara pertama, Vinka juara kedua,” tampak air mata Vinka hampir menetes.

Vivi diam sejenak, memberikan kesempatan kepada Vinka untuk meluapkan perasaannya. “Vinka harus bagaimana Ci?” lanjut Vinka. “Sebenarnya Vinka mau protes, tapi teman-teman bilang nggak ada gunanya. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat,” Vinka berhenti sejenak. “Ci Vivi, Vinka harus gimana?” tanya Vinka.

Suasana di meja tempat Vivi dan Vinka hening sejenak, meski suasana keseluruhan foodcourt tidaklah sepi. “Teman Vinka benar. Memang tidak ada yang bisa dilakukan. Protes pun percuma, karena memang keputusan juri tidak dapat diganggu gugat,” Vivi mulai bicara setelah Vinka curhat.

Vivi yakin apa yang diucapkan Vinka memang benar adanya. Vinka tak mungkin bohong. Artinya Vivi yakin memang ada yang salah dengan keputusan juri. Lomba di tingkat yang lebih besar saja Vinka menang kok, masa’ di sekolah Vinka kalah? Apalagi ada insiden sebelumnya, sang juara lupa lirik.


Vivi mengangkat minuman boba-nya, lalu menyedot minumannya secara perlahan sambil berusaha memikirkan gimana cara mengobati kekecewaan Vinka.”Vinka, menurut Ci Vivi, masalah ini nggak usah terlalu dipikirkan. Ci Vivi rasa teman-teman sekolah Vinka juga tau kalau Vinka lebih bagus daripada yang juara pertama. Protes tidak akan menyelesaikan masalah, malah mungkin mengakibatkan suasana di sekolah jadi tidak enak,” nasihat Vivi.

“Kejadian ini di luar kendali kita. Anggap saja Vinka mengalah. Mengalah bukan berarti kalah ‘kan?” Vivi memandang Vinka. Vinka mengangguk. “Ci Vivi punya cerita tentang seseorang yang mengalah, meski sebenarnya justru dia-lah yang menang. Vinka mau dengar?” tawar Vivi. “Mau Ci,” jawab Vinka antusias.

“Ini kisah tentang bhikkhu dan seorang pemuda. Seorang bhikkhu baru pulang dari mengumpulkan ranting-ranting kayu di hutan. Di perjalanan pulang ia bertemu seorang pemuda. Pemuda ini baru saja menangkap seekor kupu-kupu kecil dengan tangannya. Kupu-kupu itu ada dalam genggamannya.”

“Bhikkhu, cepat tebak kupu-kupu dalam genggaman tanganku ini, apakah ia hidup atau mati? Kalau benar, aku akan mengantarkan sepikul kayu bakar ke vihara. Kalau salah, sepikul kayu bakar ini untukku,” kata pemuda itu.


“Baiklah, kata bhikkhu itu. Kupu-kupu itu pasti sudah mati. Si pemuda tertawa gembira. Ia membuka genggaman tangannya dan seekor kupu-kupu terbang. Bhikkhu menyerahkan ranting pohon yang dikumpulkannya kepada pemuda itu,” Vivi memandangi Vinka.

“Vinka, kelihatannya bhikkhu itu kalah ‘kan?” tanya Vivi. “Iya, bhikkhu itu kehilangan ranting kayu yang telah dikumpulkannya,” jawab Vinka. “Tahukah Vinka, ketika pulang ke rumah, ayah pemuda ini marah ketika mengetahui asal-usul kayu bakar itu,” lanjut Vivi.

“Ayah pemuda itu meminta anaknya mengembalikan kayu bakar ke vihara. Vinka tau mengapa ayah pemuda itu marah?,” tanya Vivi lagi. Vinka menggeleng.

“Bhikkhu itu tau akal licikmu. Kalau beliau jawab hidup, pasti kamu akan meremas kupu-kupu itu sampai mati, sehingga kamu menang. Makanya beliau bilang kupu-kupu itu mati, sehingga kau melepaskan dan membiarkan kupu-kupu itu hidup. Kau merasa menang, tetapi sesungguhnya bhikkhu itu yang menang. Beliau berhasil menyelamatkan nyawa seekor kupu-kupu,” Vivi berkata seolah ia ayah pemuda itu.

Vivi menambahkan, “Bhikkhu itu bukan hanya menyelamatkan kehidupan seekor kupu-kupu tetapi sesungguhnya ia juga menyelamatkan pemuda itu dari perbuatan buruk, yakni membunuh kupu-kupu.”

“Kelihatannya bhikkhu itu kalah, tetapi sesungguhnya bhikkhu itu menang dua kali. Tidak apa Vinka kalah lomba, tapi di hati teman-teman Vinka, mereka tau Vinka lebih baik daripada sang pemenang. Vinka mengalah dan tidak protes karena tau itu perbuatan terbaik yang bisa dilakukan,” pungkas Vivi. “Ci Vivi, terima kasih sudah mau denger curhat Vinka. Terima kasih sudah menceritakan kisah ini. Hati Vinka sekarang sudah lega.”

 

Dikutip dari Buletin KCBI edisi Juli 2024 halaman 27/28 karya Jaya Ratana (penulis bisa dihubungi dengan cara klik tulisan nama penulisnya).

0 komentar: