Iklan Bernuansa Buddhis

Hendry Filcozwei Jan

Anda pernah melihat iklan kartu kredit Visa versi terbaru di TV swasta baru-baru ini? Perusahaan ini memang tidak tanggung-tanggung mengeluarkan dana untuk pembuatan iklan. Setelah versi sebelumnya (versi simpanse & pisang), kartu kredit yang berlogo burung sedang terbang ini memakai Catherine Zeta Jones sebagai bintang iklan, kali ini mereka tetap memakai artis Hollywood papan atas.

Bagi penulis, ada hal menarik dari iklan versi burung kali ini. Bukan hanya bintang-nya Richard Gere yang di sini sangat dikenal lewat film Pretty Woman bareng Julia Roberts, tapi ide cerita yang diangkatnya. Seperti yang kita ketahui, Richard Gere adalah satu dari sedikit artis yang sangat tertarik dengan ajaran Sang Buddha. Bisa jadi, ide iklan yang bernuansa Buddhis ini juga berasal dari aktor tampan yang dekat dengan Dalai Lama ini.

Dikisahkan Richard Gere sedang berada sebuah pasar burung di India. Pengawalnya (atau mungkin guide-nya yang juga orang India) menerangkan tradisi di India. Bahwa masyarakat India percaya, dengan membebaskan burung, maka mereka akan mendapatkan keberuntungan. Makin banyak burung yang dibebaskan, makin besar keberuntungan yang akan didapatkannya. Saat itu seorang anak perempuan India tak sengaja menabraknya. Richard Gere menanyakan, Anda tidak apa-apa ‘kan? Sang anak menggeleng, kemudian berlari.

Ternyata anak perempuan tadi ingin membeli beberapa ekor burung untuk dilepaskan (Fang Sen). Ia ingin mengantarkan kakaknya yang akan bepergian jauh dan berharap kakaknya akan mendapat banyak keberuntungan (selamat dalam perjalanan). Tapi apa daya, uang yang dimilikinya hanya cukup untuk membeli 1 ekor burung.

Richard Gere (sang jutawan) tergerak hatinya. Secara diam-diam Richard Gere memborong banyak burung dengan kartu saktinya (inti iklan ini tentu saja kartu kredit ini bisa diterima di mana-mana di seluruh dunia).

Saat sang kakak akan berangkat, adiknya melepaskan seekor burung dari dalam sangkar. Tapi betapa terkejutnya dia karena tiba-tiba ada ratusan burung lain yang juga dilepaskan secara bersamaan. Ia menoleh ke belakang, ke arah ratusan burung itu dilepaskan. Tayangan ini memberi kesan, anak perempuan tadi tahu hanya kakaknya yang akan bepergian jauh. Tentu pelepasan ratusan burung (Fang Sen) ini juga untuk kakaknya. Tatapan matanya menyiratkan pertanyaan, siapa yang berdana sekian ratus burung ini untuknya? Tapi sang jutawan dan para pengawalnya pura-pura tidak tahu (melihat ke arah lain dan mengangkat bahu).

Memang inti pesannya adalah menjual saktinya kartu kredit mereka. Tapi bagi penulis, ada pesan lain yang terselip. Pertama: membebaskan makhluk lain dari penderitaan adalah perbuatan mulia, kedua: memberi tanpa pamrih (tidak perlu menonjolkan diri bahwa kitalah yang melakukan perbuatan baik itu). Sebuah ide cemerlang dalam mengiklankan produk, tidak hanya menjual tapi sekaligus menyampaikan pesan moral.



Dikutip dari majalah Gema Dharmakirti edisi No. 14/2005 terbitan MBI kota Palembang, hal. 62-63

Bisa juga dilihat di: Dhammacitta 



Setulus Sentuhan Kasih

oleh: Hendry Filcozwei Jan

Gedung PTT yang megah tepat berada di seberang tempat aku berdiri menantikan angkot Cikudapateuh-Ciroyom. Pagi ini jalan BKR belum begitu ramai oleh kendaraan. Yang ramai justru orang-orang yang lalu lalang selesai berolah raga di lapangan Tegalega. Kupandangi sepasang suami istri muda dengan buah hati mereka di gendongan sang suami yang lewat persis di depanku. Berjalan, bercanda dan tertawa riang bersama. Sesekali sang suami mencium anaknya. Hmmm...... tampaknya mereka adalah pasangan keluarga muda yang sangat berbahagia.

Sementara dari arah kanan serombongan anak-anak, remaja, sampai orang tua berjalan ke arahku. Rombongan ini tak begitu menarik perhatianku. Mataku tertuju pada sepasang remaja. Sang cowok merengkuh pundak pacarnya dengan mesra. Bercerita dan tertawa bersama, membuat iri siapa pun yang memandangnya. "Ya setidaknya aku iri dengan kebahagiaan mereka. Karena hingga kini belum ada seorang kekasih yang mau menemani hari-hari sepiku. Entah aku yang terlalu cuek, terlalu pemalu, atau ..." aku tersadar dari lamunanku. Angkot Cikudapateuh berhenti beberapa meter di depanku, menurunkan penumpangnya. Tanpa buang waktu aku naik ke angkot. Persis di depan Universitas Langlang Buana aku turun dan ganti naik angkot Dago. Udara pagi yang sejuk dan segar sedikit melegakan dadaku.

*****


Aku melangkahkan kaki memasuki Vihara Vimala Dharma. Sambutan ramah pengurus yang menyapa "
Namo Buddhaya" segera kubalas. Ini sebuah tradisi bagus yang harus tetap dipertahankan.

Kebaktian berlangsung lancar seperti biasanya. Namun ada tiga pengumuman yang mengusik hatiku. Pertama ada kegiatan donor darah di Vihara Buddha Gaya, kedua kunjungan ke Panti Wredha Santo Yusuf, dan anjangsana ke desa Buddhis di Blitar. Dua hal pertama mungkin aku bisa ikut, sedangkan yang ketiga tak bisa karena tempat kerjaku tak bakal memberikan ijin cuti seminggu. Selama ini baik di Bandung, maupun di vihara asalku, aku langsung pulang selesai kebaktian. Kali ini ada dorongan kuat dari dalam agar aku ikut donor darah dan kunjungan ke panti wredha.

*****


Aku memberanikan diri mengisi formulir donor darah, meski sebenarnya aku tak kuat bila melihat darah. Dulu tiga kali aku hampir pingsan saat melihat darah yang mengalir dari lutut dan jari tanganku. Hanya luka kecil dan darah yang keluar juga hanya sedikit, tapi mendadak pandanganku jadi gelap dan sekujur tubuhku mandi keringat.

"Cewek saja berani donor darah, kok Koko
nggak berani sih?" tanya Liana. "Nggak sakit kok, cuma seperti disuntik saja. Lagian donor darah adalah perbuatan mulia, dan baik bagi kesehatan" tambah Liana memompa keberanianku. "Donor darah, siapa takut ???" aku menirukan iklan shampo.

Liana memang rada cerewet padaku, tapi aku percaya semua itu demi kebaikanku. Kalau aku yang bandel ataupun menggodanya, cubitannya yang super sakit akan mendarat di tanganku. Ehm..... sebelum lebih jauh bercerita, aku harus kenalkan dulu siapa Liana ini kepada pembaca. Dia adik angkatku, kukenal dia lewat acara
Cross Country yang diadakan PVVD. Entah apa yang membuatnya tertarik berteman denganku dan menganggap aku ini kakaknya. Setiap ada masalah Liana curhat padaku, termasuk masalah Liana dengan pacarnya yang berada nun jauh di seberang pulau. Soal kedekatan kami yang digosipkan pacaran (eh... ada nggak sih yang menggosipkan kami?), aku sih cuek saja. Toh..... Liana sudah menceritakan persahabatan kami kepada pacarnya. "Biar mereka bicara, telinga kita terkunci....." seperti kata Iwan Fals pada syair Buku ini Aku Pinjam.

Antrian panjang umat Buddha yang berdonor darah membuatku bangga, ternyata umat Buddha yang minoritas punya kepedulian dan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi.

*****


Aku dan rombongan dari PVVD sudah sampai di Panti Wredha Santo Yusuf. Satu persatu penghuni panti kami sapa. "Apa kabar Oma?" begitu sapa kami lalu memperkenalkan diri. Mata mereka berbinar-binar menerima kedatangan kami. Aku, Andi, Roni, Sukanto, Indra, Junaidi, Heni, Liana, Emi, dan yang lain (mohon maaf kepada yang namanya tidak disebut) berbagi tugas. Kami menyebar ke tiap kamar menemani setiap Oma, bertanya dan mendengarkan cerita mereka. "Dari gereja mana?" tanya seorang Oma. "Kami dari Vihara di Dago." ujar kami yang membuat sang Oma keheranan. Pertanyaan Oma ini mengingatkan aku pada puisi "Tanpa Batas" yang tertulis di
cover belakang buku Setetes Dhamma dan pernah dibagikan dalam bentuk selebaran di vihara. Memang seharusnya kita tidak lagi membatasi diri dalam bergaul, apalagi untuk urusan kemanusiaan.

Tak ada seorang pun yang ingin menghabiskan masa tua di panti. Itulah sebabnya bertanya mengapa mereka sampai menghuni panti ini adalah satu hal yang harus dihindari, karena kehadiran kami di sini adalah untuk menghibur dan bukan mengorek cerita duka. Meski terkadang tanpa diminta cerita itu akan meluncur dari mulut mereka.

Banyak hikmah yang bisa diambil dari kunjungan ini, banyak cerita yang sudah kami dengarkan dari Oma-Oma, tentang keluarga, masa muda, cerita jaman perang yang tak kami alami, sampai resep obat tetes mata tradisional dari daun Meyana yang membuat Oma tetap dapat membaca dengan jelas tanpa kacamata di usia 92 tahun. Juga nasehat-nasehat Oma untuk kami yang masih muda-muda, jangan sia-siakan orang tuamu. Juga terima kasih atas doa Oma agar kami selalu sehat, panjang umur, dan selamat sampai tujuan.

Kita telah berbagi cerita, pengalaman, dan nyanyi bersama, namun kami rasa masih sedikit yang bisa kami berikan. Kami yakin bukan jeruk dan makanan kecil yang kami bawa yang membuat Oma-Oma gembira dan tampak bahagia. Tapi perhatian setulus sentuhan kasih yang amat mereka dambakan. Sampai jumpa Oma Pinawati, Oma Ana, Oma Mulyati, Oma Satinem,....... Kami berjanji lain waktu kami akan datang lagi....

Note:
Cerpen ini adalah semi fiksi, sebagian adalah benar dan sebagian lagi hasil imajinasi pengarang, mohon maaf bila ada hal-hal yang kurang berkenan bagi nama-nama yang tercantum dalam cerpen ini.

Dikutip dari Majalah BVD/ Berita Vimala Dharma edisi Juli 2000, dimuat atas izin redaksi dan penulisnya.

Cerpen ini juga bisa dibaca di: Kalyanadhammo.net

Nantikan Kedatanganku

oleh: Hendry Filcozwei Jan

Oplet Lemabang yang kutumpangi melaju perlahan. Ada rasa kesal melihat laju oplet yang tersendat-sendat. Jalan Kebumen yang sudah sempit, makin sempit lantaran mobil-mobil barang yang parkir di sisi kiri jalan untuk bongkar muat. Rasa sebel, ingin marah, dan kangen campur baur dalam dada. Ini memang salahku sendiri. Kenapa aku nekat naik oplet Lemabang, padahal aku bisa carter taksi. "Huuuh..." aku menghembuskan napas panjang agar dadaku tidak sesak.

Oplet telah berbelok ke kanan setelah melewati Apotek Musi. Tak banyak perubahan dengan aktivitas di Pasar 16. Pedagang sayur, buah-buahan, daging sapi, dan ayam masih seperti dua tahun lalu. Hanya Pasar 16 kini tampak lebih megah setelah dilanda bencana kebakaran beberapa tahun lalu. Perjalanan nostalgia ini mengingatkan aku pada kisah dua tahun lalu. Pagi itu seperti biasa aku naik oplet ke sekolah yang terletak di jalan Bangau. Aku berangkat lebih pagi karena ada PR yang belum selesai. Biasaaa... mencocokkan jawaban dengan punya teman istilah kami, padahal sih menyalin. Ketika oplet berada di jalan Kebumen, kulihat cewek di sebelahku gelisah. Cewek berseragam putih abu-abu yang juga naik dari daerah Gaya Baru itu gelisah karena dompetnya tertinggal. Saku kemeja dan rok serta isi tas sudah diobok-obok tapi tak ada serupiah pun. Singkat cerita akulah yang membayarkan ongkosnya. Di oplet itu hanya aku dan dia yang berseragam sekolah, lainnya ibu-ibu dan mbok-mbok pedagang sayur.

Setelah itu kami berkenalan dan ngobrol selama perjalanan. Akhirnya aku tahu, ia bernama Widyawati, kelas I7, satu sekolah denganku, tinggal di jalan Pengadilan lorong Beliti, dan yang terpenting ia masih sendiri. Itulah awal kebersamaan kami. Kami selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Rumah kami memang berdekatan, aku tinggal di jalan Pengadilan lorong Segaran. Setiap Minggu pagi aku selalu menjemputnya untuk pergi kebaktian di Vihara Dharmakirti. Sayang kebersamaan kami cuma setahun. Aku kuliah ke Bandung setamat SMA. Namun kisah asmara kami masih berlanjut meski cuma lewat surat dan sesekali lewat telepon. "Braaak!!!" suara tabrakan membuyarkan lamunanku. Sebuah motor menabrak oplet Sekip tepat di depan kantor pos pusat. Menurut bapak di sebelahku jelas salah pengendara motor. Pengendara motor itu ngebut dan memotong dari sebelah kiri. "Itulah akibat suka kebut-kebutan dan tidak mentaati peraturan lalu lintas" sambung bapak tadi. Orang-orang ramai mengerubungi lokasi tabrakan. Polisi yang bertugas di depan kantor Pegadaian segera mendatangi lokasi kecelakaan. Kualihkan pandangan dari keramaian itu. Aku ingin melanjutkan lamunanku yang terputus.

"Kak Ivan, liburan ini ke Palembang ya? Widya sekarang tidak tinggal di jalan Pengadilan lorong Beliti lagi. Widya pindah ke jalan Candi Angsoko. Kak Ivan naik taksi saja, bisa masuk dari jalan Veteran samping Candi Motor atau dari jalan Sudirman samping Bank Raharja Makmur. Kalau dari samping Candi Motor lurus saja, rumah Widya paling ujung. Bila dari samping Bank Raharja Makmur lurus, kemudian belok ke kanan bila menemui persimpangan. Pagar rumah Widya bercat hitam, serta banyak tanaman anggrek dan kaktus di halamannya. Jangan nggak ke Palembang ya? Widya kangen, sekalian Kak Ivan bisa lihat rumah baru. Bener ya, Widya tunggu lho. Salam sayang" begitu pesan Widya lewat surat.

Daerah rumah susun di sebelah kanan dan kiri masih seperti dulu. Tak banyak perubahan, hanya saja rumah susun yang berseberangan dengan Kompleks Ilir Barat Permai tampak lebih hidup. Sate, bakso, pecel lele, pempek, otak-otak, model, dan aneka makanan khas Palembang tersedia di sini. Daerah ini jadi lokasi jajan favorit yang ramai dikunjungi muda-mudi Palembang. Kompleks Ilir Barat Permai juga makin ramai.

"Kak Ivan, Widya terpilih jadi koordinator seksi pendidikan di PPBD cerita Widya di suratnya yang lain. Bahagia sekali rasanya Widya dan teman-teman bisa membantu memberikan les kepada anak- anak SD yang kurang mampu. Oh ya Kak Ivan, majalah terbitan KMBP, Citta edisi Maret sudah terbit. Kak Ivan sudah terima belum?

Oplet yang kutumpangi membelok ke kanan. Sekarang aku berada di jalan Kapten A. Rivai, daerah perkantoran. Kutolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Bank Exim, Bank Dagang Negara, Kantor PLN, Kantor Wilayah P dan K, BCA, Gedung Wanita, kantor Pengadilan, dan Kantor Gubernur kulalui. Aku teringat cerita Widya lewat suratnya beberapa waktu lalu. Setelah melewati Rumah Sakit Charitas, oplet Lemabang lewat jalan Veteran, bukan jalan Mayor Ruslan lagi. Ada-ada saja yang diceritakan Widya dalam suratnya. Teman sekolah, keadaan kota Palembang, aktivitasnya di Vihara Dharmakirti, dan tak ketinggalan cerita tentang orang tuanya, kakak serta Utami, adiknya yang baru belajar bicara. Biar Kak Ivan nggak ketinggalan informasi katanya. Itulah sebabnya aku naik oplet Lemabang, meski Widya menyarankan aku naik taksi. Sambil bernostalgia, pikirku.

Kutekan bel begitu oplet memasuki jalan Veteran. Gejolak rindu dalam dada semakin menggebu ketika aku turun dari oplet. Kutelusuri jalan Candi Angsoko dengan langkah tergesa-gesa. Aku sudah tidak sabar menemui gadisku. Ahhh... itu gadisku. Widya yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek sedang merawat tanaman kaktusnya.

"Widya..." aku menyapanya.

"Ehhh... Kak Ivan. Kapan datang?" tanya Widya dengan wajah gembira.

"Baru tadi pagi" jawabku.

"Mari masuk" kata Widya sambil membuka pintu pagar. Ahhh... betapa kangennya aku. Kuacak-acak poni rambutnya. Widya pasang muka sebel, padahal aku tahu ia senang aku memperlakukannya seperti anak kecil. Pembaca... sudah ya ceritaku. Aku sekarang ingin melepaskan kerinduanku.



Note:
  1. Cerita ini hanyalah fiktif belaka, sedang lokasi kejadian adalah benar (hanya saja ini merupakan situasi sekitar tahun 1996 saat penulis masih di Palembang).
  2. PPBD = Persaudaraan Pemuda Buddhis Dharmakirti
  3. KMBP = Keluarga Mahasiswa Buddhis Palembang

Dikutip dari Majalah BVD/ Berita Vimala Dharma edisi Mei 2000. Dimuat atas izin redaksi dan penulisnya.

Cerpen ini juga bisa dibaca di: FB: Young Buddhist Association of Indonesia dan Kalyanadhammo.net