Nantikan Kedatanganku

oleh: Hendry Filcozwei Jan

Oplet Lemabang yang kutumpangi melaju perlahan. Ada rasa kesal melihat laju oplet yang tersendat-sendat. Jalan Kebumen yang sudah sempit, makin sempit lantaran mobil-mobil barang yang parkir di sisi kiri jalan untuk bongkar muat. Rasa sebel, ingin marah, dan kangen campur baur dalam dada. Ini memang salahku sendiri. Kenapa aku nekat naik oplet Lemabang, padahal aku bisa carter taksi. "Huuuh..." aku menghembuskan napas panjang agar dadaku tidak sesak.

Oplet telah berbelok ke kanan setelah melewati Apotek Musi. Tak banyak perubahan dengan aktivitas di Pasar 16. Pedagang sayur, buah-buahan, daging sapi, dan ayam masih seperti dua tahun lalu. Hanya Pasar 16 kini tampak lebih megah setelah dilanda bencana kebakaran beberapa tahun lalu. Perjalanan nostalgia ini mengingatkan aku pada kisah dua tahun lalu. Pagi itu seperti biasa aku naik oplet ke sekolah yang terletak di jalan Bangau. Aku berangkat lebih pagi karena ada PR yang belum selesai. Biasaaa... mencocokkan jawaban dengan punya teman istilah kami, padahal sih menyalin. Ketika oplet berada di jalan Kebumen, kulihat cewek di sebelahku gelisah. Cewek berseragam putih abu-abu yang juga naik dari daerah Gaya Baru itu gelisah karena dompetnya tertinggal. Saku kemeja dan rok serta isi tas sudah diobok-obok tapi tak ada serupiah pun. Singkat cerita akulah yang membayarkan ongkosnya. Di oplet itu hanya aku dan dia yang berseragam sekolah, lainnya ibu-ibu dan mbok-mbok pedagang sayur.

Setelah itu kami berkenalan dan ngobrol selama perjalanan. Akhirnya aku tahu, ia bernama Widyawati, kelas I7, satu sekolah denganku, tinggal di jalan Pengadilan lorong Beliti, dan yang terpenting ia masih sendiri. Itulah awal kebersamaan kami. Kami selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Rumah kami memang berdekatan, aku tinggal di jalan Pengadilan lorong Segaran. Setiap Minggu pagi aku selalu menjemputnya untuk pergi kebaktian di Vihara Dharmakirti. Sayang kebersamaan kami cuma setahun. Aku kuliah ke Bandung setamat SMA. Namun kisah asmara kami masih berlanjut meski cuma lewat surat dan sesekali lewat telepon. "Braaak!!!" suara tabrakan membuyarkan lamunanku. Sebuah motor menabrak oplet Sekip tepat di depan kantor pos pusat. Menurut bapak di sebelahku jelas salah pengendara motor. Pengendara motor itu ngebut dan memotong dari sebelah kiri. "Itulah akibat suka kebut-kebutan dan tidak mentaati peraturan lalu lintas" sambung bapak tadi. Orang-orang ramai mengerubungi lokasi tabrakan. Polisi yang bertugas di depan kantor Pegadaian segera mendatangi lokasi kecelakaan. Kualihkan pandangan dari keramaian itu. Aku ingin melanjutkan lamunanku yang terputus.

"Kak Ivan, liburan ini ke Palembang ya? Widya sekarang tidak tinggal di jalan Pengadilan lorong Beliti lagi. Widya pindah ke jalan Candi Angsoko. Kak Ivan naik taksi saja, bisa masuk dari jalan Veteran samping Candi Motor atau dari jalan Sudirman samping Bank Raharja Makmur. Kalau dari samping Candi Motor lurus saja, rumah Widya paling ujung. Bila dari samping Bank Raharja Makmur lurus, kemudian belok ke kanan bila menemui persimpangan. Pagar rumah Widya bercat hitam, serta banyak tanaman anggrek dan kaktus di halamannya. Jangan nggak ke Palembang ya? Widya kangen, sekalian Kak Ivan bisa lihat rumah baru. Bener ya, Widya tunggu lho. Salam sayang" begitu pesan Widya lewat surat.

Daerah rumah susun di sebelah kanan dan kiri masih seperti dulu. Tak banyak perubahan, hanya saja rumah susun yang berseberangan dengan Kompleks Ilir Barat Permai tampak lebih hidup. Sate, bakso, pecel lele, pempek, otak-otak, model, dan aneka makanan khas Palembang tersedia di sini. Daerah ini jadi lokasi jajan favorit yang ramai dikunjungi muda-mudi Palembang. Kompleks Ilir Barat Permai juga makin ramai.

"Kak Ivan, Widya terpilih jadi koordinator seksi pendidikan di PPBD cerita Widya di suratnya yang lain. Bahagia sekali rasanya Widya dan teman-teman bisa membantu memberikan les kepada anak- anak SD yang kurang mampu. Oh ya Kak Ivan, majalah terbitan KMBP, Citta edisi Maret sudah terbit. Kak Ivan sudah terima belum?

Oplet yang kutumpangi membelok ke kanan. Sekarang aku berada di jalan Kapten A. Rivai, daerah perkantoran. Kutolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Bank Exim, Bank Dagang Negara, Kantor PLN, Kantor Wilayah P dan K, BCA, Gedung Wanita, kantor Pengadilan, dan Kantor Gubernur kulalui. Aku teringat cerita Widya lewat suratnya beberapa waktu lalu. Setelah melewati Rumah Sakit Charitas, oplet Lemabang lewat jalan Veteran, bukan jalan Mayor Ruslan lagi. Ada-ada saja yang diceritakan Widya dalam suratnya. Teman sekolah, keadaan kota Palembang, aktivitasnya di Vihara Dharmakirti, dan tak ketinggalan cerita tentang orang tuanya, kakak serta Utami, adiknya yang baru belajar bicara. Biar Kak Ivan nggak ketinggalan informasi katanya. Itulah sebabnya aku naik oplet Lemabang, meski Widya menyarankan aku naik taksi. Sambil bernostalgia, pikirku.

Kutekan bel begitu oplet memasuki jalan Veteran. Gejolak rindu dalam dada semakin menggebu ketika aku turun dari oplet. Kutelusuri jalan Candi Angsoko dengan langkah tergesa-gesa. Aku sudah tidak sabar menemui gadisku. Ahhh... itu gadisku. Widya yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek sedang merawat tanaman kaktusnya.

"Widya..." aku menyapanya.

"Ehhh... Kak Ivan. Kapan datang?" tanya Widya dengan wajah gembira.

"Baru tadi pagi" jawabku.

"Mari masuk" kata Widya sambil membuka pintu pagar. Ahhh... betapa kangennya aku. Kuacak-acak poni rambutnya. Widya pasang muka sebel, padahal aku tahu ia senang aku memperlakukannya seperti anak kecil. Pembaca... sudah ya ceritaku. Aku sekarang ingin melepaskan kerinduanku.



Note:
  1. Cerita ini hanyalah fiktif belaka, sedang lokasi kejadian adalah benar (hanya saja ini merupakan situasi sekitar tahun 1996 saat penulis masih di Palembang).
  2. PPBD = Persaudaraan Pemuda Buddhis Dharmakirti
  3. KMBP = Keluarga Mahasiswa Buddhis Palembang

Dikutip dari Majalah BVD/ Berita Vimala Dharma edisi Mei 2000. Dimuat atas izin redaksi dan penulisnya.

Cerpen ini juga bisa dibaca di: Kalyanadhammo.net

0 komentar: