Gedung PTT yang megah tepat berada di seberang tempat aku berdiri menantikan angkot Cikudapateuh-Ciroyom. Pagi ini jalan BKR belum begitu ramai oleh kendaraan. Yang ramai justru orang-orang yang lalu lalang selesai berolah raga di lapangan Tegalega. Kupandangi sepasang suami istri muda dengan buah hati mereka di gendongan sang suami yang lewat persis di depanku. Berjalan, bercanda dan tertawa riang bersama. Sesekali sang suami mencium anaknya. Hmmm...... tampaknya mereka adalah pasangan keluarga muda yang sangat berbahagia.
Sementara dari arah kanan serombongan anak-anak, remaja, sampai orang tua berjalan ke arahku. Rombongan ini tak begitu menarik perhatianku. Mataku tertuju pada sepasang remaja. Sang cowok merengkuh pundak pacarnya dengan mesra. Bercerita dan tertawa bersama, membuat iri siapa pun yang memandangnya. "Ya setidaknya aku iri dengan kebahagiaan mereka. Karena hingga kini belum ada seorang kekasih yang mau menemani hari-hari sepiku. Entah aku yang terlalu cuek, terlalu pemalu, atau ..." aku tersadar dari lamunanku. Angkot Cikudapateuh berhenti beberapa meter di depanku, menurunkan penumpangnya. Tanpa buang waktu aku naik ke angkot. Persis di depan Universitas Langlang Buana aku turun dan ganti naik angkot Dago. Udara pagi yang sejuk dan segar sedikit melegakan dadaku.
Aku melangkahkan kaki memasuki Vihara Vimala Dharma. Sambutan ramah pengurus yang menyapa "Namo Buddhaya" segera kubalas. Ini sebuah tradisi bagus yang harus tetap dipertahankan.
Kebaktian berlangsung lancar seperti biasanya. Namun ada tiga pengumuman yang mengusik hatiku. Pertama ada kegiatan donor darah di Vihara Buddha Gaya, kedua kunjungan ke Panti Wredha Santo Yusuf, dan anjangsana ke desa Buddhis di Blitar. Dua hal pertama mungkin aku bisa ikut, sedangkan yang ketiga tak bisa karena tempat kerjaku tak bakal memberikan ijin cuti seminggu. Selama ini baik di Bandung, maupun di vihara asalku, aku langsung pulang selesai kebaktian. Kali ini ada dorongan kuat dari dalam agar aku ikut donor darah dan kunjungan ke panti wredha.
Aku memberanikan diri mengisi formulir donor darah, meski sebenarnya aku tak kuat bila melihat darah. Dulu tiga kali aku hampir pingsan saat melihat darah yang mengalir dari lutut dan jari tanganku. Hanya luka kecil dan darah yang keluar juga hanya sedikit, tapi mendadak pandanganku jadi gelap dan sekujur tubuhku mandi keringat.
"Cewek saja berani donor darah, kok Koko nggak berani sih?" tanya Liana. "Nggak sakit kok, cuma seperti disuntik saja. Lagian donor darah adalah perbuatan mulia, dan baik bagi kesehatan" tambah Liana memompa keberanianku. "Donor darah, siapa takut ???" aku menirukan iklan shampo.
Liana memang rada cerewet padaku, tapi aku percaya semua itu demi kebaikanku. Kalau aku yang bandel ataupun menggodanya, cubitannya yang super sakit akan mendarat di tanganku. Ehm..... sebelum lebih jauh bercerita, aku harus kenalkan dulu siapa Liana ini kepada pembaca. Dia adik angkatku, kukenal dia lewat acara Cross Country yang diadakan PVVD. Entah apa yang membuatnya tertarik berteman denganku dan menganggap aku ini kakaknya. Setiap ada masalah Liana curhat padaku, termasuk masalah Liana dengan pacarnya yang berada nun jauh di seberang pulau. Soal kedekatan kami yang digosipkan pacaran (eh... ada nggak sih yang menggosipkan kami?), aku sih cuek saja. Toh..... Liana sudah menceritakan persahabatan kami kepada pacarnya. "Biar mereka bicara, telinga kita terkunci....." seperti kata Iwan Fals pada syair Buku ini Aku Pinjam.
Antrian panjang umat Buddha yang berdonor darah membuatku bangga, ternyata umat Buddha yang minoritas punya kepedulian dan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi.
Aku dan rombongan dari PVVD sudah sampai di Panti Wredha Santo Yusuf. Satu persatu penghuni panti kami sapa. "Apa kabar Oma?" begitu sapa kami lalu memperkenalkan diri. Mata mereka berbinar-binar menerima kedatangan kami. Aku, Andi, Roni, Sukanto, Indra, Junaidi, Heni, Liana, Emi, dan yang lain (mohon maaf kepada yang namanya tidak disebut) berbagi tugas. Kami menyebar ke tiap kamar menemani setiap Oma, bertanya dan mendengarkan cerita mereka. "Dari gereja mana?" tanya seorang Oma. "Kami dari Vihara di Dago." ujar kami yang membuat sang Oma keheranan. Pertanyaan Oma ini mengingatkan aku pada puisi "Tanpa Batas" yang tertulis di cover belakang buku Setetes Dhamma dan pernah dibagikan dalam bentuk selebaran di vihara. Memang seharusnya kita tidak lagi membatasi diri dalam bergaul, apalagi untuk urusan kemanusiaan.
Tak ada seorang pun yang ingin menghabiskan masa tua di panti. Itulah sebabnya bertanya mengapa mereka sampai menghuni panti ini adalah satu hal yang harus dihindari, karena kehadiran kami di sini adalah untuk menghibur dan bukan mengorek cerita duka. Meski terkadang tanpa diminta cerita itu akan meluncur dari mulut mereka.
Banyak hikmah yang bisa diambil dari kunjungan ini, banyak cerita yang sudah kami dengarkan dari Oma-Oma, tentang keluarga, masa muda, cerita jaman perang yang tak kami alami, sampai resep obat tetes mata tradisional dari daun Meyana yang membuat Oma tetap dapat membaca dengan jelas tanpa kacamata di usia 92 tahun. Juga nasehat-nasehat Oma untuk kami yang masih muda-muda, jangan sia-siakan orang tuamu. Juga terima kasih atas doa Oma agar kami selalu sehat, panjang umur, dan selamat sampai tujuan.
Kita telah berbagi cerita, pengalaman, dan nyanyi bersama, namun kami rasa masih sedikit yang bisa kami berikan. Kami yakin bukan jeruk dan makanan kecil yang kami bawa yang membuat Oma-Oma gembira dan tampak bahagia. Tapi perhatian setulus sentuhan kasih yang amat mereka dambakan. Sampai jumpa Oma Pinawati, Oma Ana, Oma Mulyati, Oma Satinem,....... Kami berjanji lain waktu kami akan datang lagi....
Note:
Cerpen ini adalah semi fiksi, sebagian adalah benar dan sebagian lagi hasil imajinasi pengarang, mohon maaf bila ada hal-hal yang kurang berkenan bagi nama-nama yang tercantum dalam cerpen ini.
Dikutip dari Majalah BVD/ Berita Vimala Dharma edisi Juli 2000, dimuat atas izin redaksi dan penulisnya.
Cerpen ini juga bisa dibaca di: Kalyanadhammo.net
0 komentar:
Posting Komentar