Jangan Ciptakan Monster di Rumah Anda


Hendry F. Jan | Jumat, 2 Februari 2018 15.00 PM Life
M-Scrofani

“Kecanduan Gawai Akut, 2 Pelajar Bondowoso Masuk RS Jiwa,” begitu judul berita di media online pada pertengahan Januari 2018. Betapa mengerikan dampak gawai (gadget) bagi putra-putri kita.

Di FB penulis juga pernah melihat video bagaimana putus asanya orangtua yang anaknya kecanduan gawai (tentunya kecanduan game). Anak sudah tidak peduli dengan apa yang dikatakan orangtua. Ia jadi malas belajar, bahkan sudah tidak mau sekolah.

Saking putus asanya, orangtua dalam video tersebut membanting, membakar, membuang gawai (gadget) yang sedang dimainkan anaknya. Anak pun menjerit histeris, mengamuk sejadi-jadinya, menghancurkan apa saja. Mereka layaknya jadi monster yang tidak bisa dikendalikan.



Kecanduan gawai
Di tempat umum mana pun, kita dengan mudah menemukan orang yang asyik dengan smartphone-nya. Mulai dari santai di kafe, di halte bus, sampai sedang mengendarai kendaraan di jalan . Akibat tidak fokus, tidak sedikit yang berakhir tragis (kematian).


Orang dewasa yang seharusnya sudah matang pemikirannya saja bisa terhanyut dan kecanduan, apalagi anak kecil.

Anak Anda rewel, saat Anda sedang sibuk. Apa solusi paling mudah? Cara paling mudah adalah memberinya smartphone yang ada game-nya. Anda bisa bekerja dengan tenang (atau asyik dengan medsos), anak Anda jadi tidak rewel dan tidak mengganggu aktivitas Anda.

Disadari atau tidak, inilah awal mulanya anak akan kecanduan dan kita mulai menciptakan monster di rumah kita. Apakah Anda merupakan salah satu orangtua yang melakukan hal ini? Jika iya, mari segera berubah


Batasi sejak dini
Memberikan gawai yang berisi game memang solusi paling mudah. Kelihatannya aman (secara fisik permainan di dunia maya ini aman). Anak Anda tidak akan terluka akibat memainkannya, beda dengan permainan konvesional yang banyak memerlukan gerak fisik.

Tapi dampak buruk game jauh lebih parah daripada permainan konvensional. Untuk tumbuh kembang, permainan konvensional jauh lebih baik. Permainan konvensional membuat anak banyak bergerak dan bersosialisasi. Gerak dalam bermain dan bersosialisasi dengan teman sangat baik bagi tumbuh kembang buah hati kita.

Bandingkan dengan anak yang bermain game. Dalam permainan di dunia maya ini, yang lebih banyak bergerak hanyalah jari tangan. Dan permainan ini membuat anak lupa dengan dunia di sekitarnya (antisosial) dan tentu saja bersifat adiktif (membuat anak kecanduan).


Ayo kita peduli
Penulis pernah menyaksikan langsung bagaimana buruknya dampak game bagi seorang anak. Anak jadi temperamental, nilai pelajaran menurun, dan susah diajak berkomunikasi.

Saat diajak bicara, dia malas menjawab dan tetap fokus ke gawainya. Kalaupun menjawab, jawabannya pendek-pendek dan ia berharap tidak terus ditanya karena mengganggu waktu bermainnya.

Dari sini kebohongan pun dimulai. Ada PR? Jawaban yang keluar, “Tidak ada.” Atau jika kita tahu ada PR, dan tanya sudah buat PR? “Sudah,” jawabnya, meski belum dikerjakan.

Anak jadi malas berkomunikasi dan lebih tertutup. Kalau begini, kita jadi tidak bisa memantau perkembangan anak. Tidak tahu ia sedang dekat dengan siapa, apakah ia ada masalah di sekolah, dan hal lainnya.

Akibat kecanduan game, susah disuruh mandi, jam tidur bergeser jadi lebih malam, bangun pagi lebih sulit, tidak konsen saat belajar di sekolah.


Mengalah untuk menang
Sebagai orangtua, anak adalah harta kita yang paling berharga. Mari kita mengalah untuk menyelamatkan masa depan buah hati kita. Kurangi kesenangan kita pada medsos, sisihkan waktu lebih banyak berinteraksi dengan anak.

Mari kita menyelami dunia anak kita. Orangtua harus bisa jadi orangtua bagi anak, sekaligus kakak (tempat curhat), dan teman sebaya (bisa diajak main bareng).

Mulailah mendongeng untuk anak balita kita sebelum tidur, luangkan waktu bermain bersama layaknya kita teman sebayanya, duduk bersama, temani dia saat mengerjakan PR, dan dengarkan curhatnya. Jika kita dekat dengan anak kita, apa pun yang terjadi, ia akan curhat ke kita, bukan cerita ke orang lain dan mendapat solusi yang belum tentu benar.


Batasi main game
Anak tidak boleh main game? Itu bukanlah solusi yang bijak. Zaman sudah berubah, kita tidak mungkin menjaga anak kita agar sama sekali tidak menyentuh gawai dan bermain game di dunia maya.

Boleh saja main game tapi dengan pembatasan. Kami membatasi anak hanya boleh main game hanya pada akhir pekan (Jumat dan Sabtu). Itu pun setelah semua tugas sekolah telah diselesaikan. Minggu tidak boleh pegang gawai karena konsen untuk pujabakti di vihara. Hari Minggu waktu untuk keluarga. Tapi aturan ini bersifat  fleksibel kok. Kadang anak butuh smartphone untuk berkomunikasi dengan temannya tentang tugas sekolah atau kadang digunakan untuk mengerjakan tugas sekolah.

Pembatasan penggunaan gawai harus dimulai sejak dini, karena jika anak sudah kecanduan (baca: jadi monster), itu sudah terlambat. Butuh waktu, tenaga, dan kesabaran ekstra untuk mengembalikan anak ke jalurnya. Mari mulai dari sekarang, atau kelak Anda akan menyesalinya. Percayalah, mencegah jauh lebih baik daripada mengobati.



 


Hendry Filcozwei Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan. Pembuat Apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.


Sumber: BuddhaZine

0 komentar: