Etnis Tionghoa dalam Pergerakan Indonesia

Sumber: Tirto

Banyak di antara kita mengetahui peristiwa Rengasdengklok 1945. Saat sekumpulan pemuda seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, dan Sukarni menculik Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka menuntut agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamirkan. Tetapi, tahukah kita di mana Bung Karno dan Bung Hatta diinapkan di Rengasdengklok itu? Bapak proklamator kita diinapkan di rumah seorang etnis Tionghoa bernama Djiaw Kie Siong.

Djiaw hanyalah seorang petani kecil di dusun Bojong, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Ia menyediakan rumahnya untuk ditempati oleh para tokoh pergerakan. Di rumah ini pula naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dipersiapkan dan ditulis. Rencana awal, proklamasi kemerdekaan akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong. Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah itu. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus 1945. Ketika naskah proklamasi akan dibacakan, tiba-tiba pada Kamis sore datanglah Ahmad Subardjo. Ia mengundang Bung Karno dan kawan-kawan berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Selain kedua "Bapak Bangsa" itu, rumah itu ditinggali pula oleh Sukarni Yusuf Kunto, dr. Sutjipto, Ibu Fatmawati, Guntur Soekarnoputra, dan lainnya selama tiga hari, pada 14 - 16 Agustus 1945. 



*******

Lagu Indonesia Raya dikumandangkan pertama kali secara instrumentalia oleh WR Supratman pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Setelah itu, tahukah kita siapakah yang pertama kali menyebarluaskan syair lagu kebangsaan kita itu? Surat kabar Sin Po, merilisnya pada penerbitan tanggal 10 November 1928. Media itulah yang pertama kali menyebarluaskan syair 'Indonesia Raya' beserta partiturnya. Di koran itu, WR Supratman menulis dengan jelas 'lagu kebangsaan' di bawah judul 'Indonesia'. Sin Po yang berarti Surat Kabar Baru, mencetak 5.000 eksemplar teks lagu Indonesia Raya dan dihadiahkan kepada WR Supratman, yang bekerja sebagai reporter di mingguan itu sejak 1925. Oleh WR Supratman, kemudian ribuan koran itu dijual. Pada saat Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, hadir juga tiga pemuda Tionghoa. Satu diantaranya Kwee Tiam Hong.

Sin Po, yang pertama kali terbit sebagai mingguan pada 1 Oktober 1910, juga merupakan surat kabar yang mempelopori penggunaan kata 'Indonesia' menggantikan 'Nederlandsch-Indie', 'Hindia-Nerderlandsch', atau 'Hindia Olanda'. Pada tahun 1920, harian Sin Po memelopori penggunaan kata ‘bumiputera’ sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Penggunaan kata 'inlander' dianggap sebagai penghinaan oleh kolonial Belanda kepada rakyat Indonesia. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti sebutan "Tjina" dengan kata Tionghoa dalam semua penerbitannya. Dalam percakapan sehari-hari, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjipto Mangoenkoesoemo kemudian juga mengganti kata 'Cina' dengan kata 'Tionghoa'.

Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina.


*******

Keterlibatan para etnis keturunan Tionghoa pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, memang tidak banyak disinggung dalam buku-buku sejarah Indonesia. Hanya cuplikan cerita saja. Padahal peran dan keterlibatan etnis Tionghoa dalam pergerakan tidaklah sedikit. Sebut saja di antaranya ikut sertanya empat orang etnis Tionghoa dalam BPUPKI. Mereka adalah Liem Koen Hian, Oei Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa. Setelah BPUKI dibubarkan maka dibentuklah PPKI (sebuah panitia untuk mempersiapkan kemerdekaan RI), yang beranggotakan 29 orang, satu di antara Yap Tjwan Bing (kelak namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Surakarta tahun 2008). PPKI ini yang mensahkan pengangkatan Soekarno sebagai presiden dan Hatta sebagai wakilnya, serta mensahkan UUD 1945 sebagai konstitusi baru Indonesia.

Dari semua tokoh tersebut, yang paling menonjol adalah Liem Koen Hian. Dia terlibat dalam perumusan naskah UUD 1945 dalam sidang BPUPKI. Pada tahun 1932, Liem mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Bukan Partai Tjina Indonesia. Liem mendirikan PTI bersama dengan Ko Kwat Tiong.

Sebagai catatan Ko Kwat Tiong adalah salah satu penandatangan Petisi Soetardjo pada 15 Juli 1936. Petisi ini ditujukan kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) di negeri Belanda. Saat itu Ko Kwat Tiong salah satu anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Isi petisi adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom) dalam batas Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda.

Kembali ke topik Liem Koen Hian. Ada hubungan unik antara Liem Koen Hian sebagai peranakan Tionghoa dengan Baswedan sebagai peranakan Arab. Mereka mempunyai pemikiran di antara kaumnya, bahwa Indonesia adalah negara mereka, apa pun yang terjadi dan sikap itu harus dibayar mahal. Baswedan (lahir 1908) dan Liem Koen Hian (lahir 1897) adalah dua tokoh yang saling kenal, bersahabat baik dan memiliki pandangan yang sama: Indonesia adalah Negara Saya.

Baswedan dengan organisasinya bernama Persatuan Arab Indonesia (PAI) sejak sebelum Indonesia merdeka, sering berbenturan pendapat dengan kaumnya tentang nasionalisme keturunan Arab terhadap Indonesia. Dia menentang sikap tertutup kaum keturunan Arab dan membuka pintu selebar-lebarnya untuk pembauran dengan pribumi.

Hal sama juga juga dilakukan oleh Liem Koen Hian dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) bersama Ko Kwat Tiong, yang sejak 1932 sudah mengambil sikap agar keturunan Tionghua harus membaur dan menganggap Indonesia adalah negara mereka.

Baswedan dan Liem Koen Hian adalah dua orang yang berkarir sebagai jurnalis. Mereka akrab dan saling kenal. Baswedan malah lebih sering bekerja di harian yang dimiliki oleh orang keturunan Tionghua. Pernah pada 1932 Baswedan bekerja sebagai wartawan di surat kabar di Surabaya, namanya “Sit Tit Po” yang dimiliki Liem Koen Hian.




*******

Demikian juga perlu dicatat peranan etnis Tionghoa dalam perjuangan politik untuk mempertahankan kemerdekaan. Ketika Amir Sjarifoeddin membentuk kabinetnya, Dr. Ong Eng Die dari PNI sebagai diangkat sebagai Wakil Menteri Keuangan. Dalam perundingan di kapal USS-Renville di Teluk Jakarta, Dr. Tjoa Siek In ditunjuk menjadi anggota delegasi, demikian juga dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Dr. Sim Kie Ay diikut sertakan oleh Drs. Moh. Hatta sebagai anggota dan penasihat delegasi RI.

Sebagai hasil KMB dibentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 15 Februari 1950 dibentuk parlemen. Enam orang di antara anggota parlemen RIS adalah etnis Tionghoa. Dua orang mewakili pemerintah Republik yaitu Siauw Giok Tjhan dan Drs. Yap Tjwan Bing, seorang mewakili Negara Indonesia Timur yaitu Mr. Tan Tjin Leng, dua orang mewakili Negara Jawa Timur yaitu Ir. Tan Boen Aan dan Mr. Tjoa Sie Hwie dan Tjoeng Lin Sen mewakili Negara Kalimantan Barat.

Di masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), delapan orang etnis Tionghoa menjadi anggota DPRS yaitu: Siauw Giok Tjhan, Tan Boen Aan, Tan Po Gwan, Teng Tjin Leng, Tjoa Sie Hwie, Tjoeng Lin Sen (pada bulan Agustus 1954 diganti Tio Kang Soen), Tjung Tin Jan, dan Yap Tjwan Bing (pada bulan Agustus 1954 diganti Tony Wen alias Boen Kim To).

Di dalam kabinet Ali Satroamidjojo I Dr.Ong Eng Die ditunjuk menjadi Menteri Keuangan dan Lie Kiat Teng menjadi Menteri Kesehatan. Dalam DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 terpilih beberapa orang etnis Tionghoa yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi), Tan Oen Hong, dan Tan Kim Liong (NU), Tjung Tin Jan (Partai Katholik), Lie Po Joe (PNI), Tjoo Tik Tjoen (PKI) dan Ang Tjiang Liat (Baperki). Sedangkan di Konstituante terpilih sebagai anggota antara lain Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang -kesemuanya dari Baperki, Tony Wen dari PNI, Oei Hay Djoen, dan Tan Ling Djie dari PKI.

Di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Siauw Giok Tjhan ditunjuk menjadi anggota DPR-GR mewakili golongan fungsional. Kemudian dalam Kabinet Kerja ke-4 dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, Oei Tjoe Tat diangkat menjadi Menteri Negara diperbantukan kepada Presiden RI dan David Gee Cheng diangkat menjadi Menteri Ciptakarya dan Konstruksi dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan.

Salam Kompasiana
Hendra Budiman

 
Sumber bacaan:
  1. Pers Tionghoa dalam Pergerakan Indonesia 
  2. Petisi Soetardjo 
  3. Tionghoa Indonesia  
  4. Djiaw Kie Siong
  5. Yahya, Yunus. Peranakan idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya 
  6. Suryadinata, Leo. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa

Catatan Admin:
Untuk memperkaya wawasan Anda, setiap kata dalam tulisan ini yang berwarna biru merupakan tautan ke berbagai situs yang memuat tulisan tentang itu. Misalkan kata Sin Po, tiap kata (baik kata "Sin", maupun kata "Po") akan membawa Anda ke situs yang berbeda. Bukan hanya itu, tiap kata akan membawa Anda ke situs yang berbeda. Misalkan kata Sin Po muncul 4 kali, semua kata itu akan membawa Anda ke situs yang berbeda.

Penambahan tautan ini belum selesai, harap bersabar.

Baca juga Perjuangan Orang Tionghoa dalam Pergerakan Nasional

0 komentar: