Sutar Soemitro | Monday, 7 January 2013 22.00 PM Person
Kisah tentang Pangeran Siddharta yang meninggalkan kemewahan istana untuk
kemudian menjadi petapa di hutan sebelum akhirnya menjadi Buddha, terulang
kembali dalam dunia modern. Lebih tepatnya terjadi di negeri jiran, Malaysia.
Adalah Ven. Siripanno yang lebih memilih menjadi bhikkhu ketimbang menerima
warisan segunung uang dari ayahnya, Ananda Krishnan, orang terkaya ke-2 Asia
Tenggara dan terkaya ke-89 dunia asal Malaysia. “Uang tidak bisa membeli
kedamaian batin dan kebahagiaan sejati,” ujar Ven. Siripanno.
Ven. Siripanno adalah anak laki-laki satu-satunya Ananda Krishnan dari istri
yang berasal dari Thailand. Ia memiliki dua adik perempuan. Sebagai
satu-satunya anak laki-laki, Ven. Siripanno seharusnya adalah penerus kerajaan
bisnis ayahnya.
Ananda Krishnan adalah pengusaha sukses keturunan Srilanka. Kerajaan bisnisnya
di antaranya bergerak di bidang media (Astro), satelit (MEASAT), minyak bumi dan
gas (Bumi Armada, Pexco), telekomunikasi (Maxis, Aircel), hingga perusahaan
investasi dan properti. Menurut majalah Forbes, kekayaan Ananda Krishnan
mencapai 9,6 miliar dollar AS atau sekitar 92,8 triliun rupiah!
Ananda Krishnan lahir dari keluarga Buddhis yang berimigrasi dari Srilanka.
Walaupun memiliki kekayaan berlimpah, namun Ananda Krishnan tetap rendah hati.
Ia juga dikenal sebagai filantropis, terutama dalam bidang pendidikan.
Puluhan tahun lalu, Ananda Krishnan kehilangan putranya. Ia kemudian
mencari-carinya, dan pencariannya terhenti di sebuah monasteri di Thailand
utara. Ia terkejut melihat putranya mengenakan jubah cokelat, berkepala plontos
dengan sebuah mangkuk patta di tangan. Lalu Ananda Krishnan mengundang putranya
yang telah jadi bhikkhu tersebut untuk makan di rumahnya.
Dengan ramah Ven. Siripanno menjawab, “Maaf, saya tidak bisa menerima undangan
Anda. Seperti para bhikkhu lain, saya harus ber-pindapatta untuk mengumpulkan
dana makanan.” Balasan Ananda Krishnan kemudian menjadi headline di berbagai
media, “Dengan semua kekayaan yang saya miliki, saya bahkan tidak mampu memberi
makan untuk putraku sendiri.”
Putranya kemudian tetap tinggal di monasteri di hutan Thailand, dan seperti para
bhikkhu lain, kehidupannya juga bergantung pada sokongan umat.
Sebelum menjadi bhikkhu, Ven. Siripanno dibesarkan dan bersekolah di Inggris.
Ia sangat cerdas dan menguasai 8 bahasa. Ia ditahbis saat usia 18 pada tahun
1989 di Wat Pah Nanachat, sebuah vihara hutan di Thailand utara yang didirikan
oleh Ajahn Chah pada tahun 1975. Vihara tersebut dikepalai Ajahn Sumedho,
seorang murid Ajahn Chah asal Amerika. Kebanyakan bhikkhu yang tinggal di situ
adalah bhikkhu bule.
Ven. Siripanno kini menjadi kepala Wat Dao Dum Hermitage, sebuah vihara hutan
di Thailand utara.
Apa yang membuat Ven. Siripanno yang kini berusia 40 tahun lebih memilih
menjadi bhikkhu daripada menikmati kekayaan warisan ayahnya? “Hal paling
berharga yang bisa kita lakukan dalam hidup adalah membuat pikiran menjadi
damai,” ujar Ven. Siripanno suatu ketika. Dan ia menemukannya di dalam
kesederhanaan hidup sebagai bhikkhu Sangha, bukan dalam tumpukan triliunan uang
ayahnya.
Sumber: BuddhaZine
0 komentar:
Posting Komentar