Siswa Agung (Mahā-Sāvaka)
Bhikkhu Soṇa Koḷivisa
Unggul dalam Pengerahan Daya
Aku
hidup di Campā. Konon, sejak dikandung, aku kerap mendatangkan
kekayaan. Saat lahir, warna kulitku cerah bagai emas. Kaki dan tanganku
lembut bagai kembang sepatu, dengan bulu halus di atasnya yang
menyerupai untaian giwang. Aku tumbuh besar dalam kemewahan wismaku.
Kabar
tentang kaki lembutku begitu tersohor, hingga Raja Bimbisāra pun
penasaran dan mengundangku ke Rājagaha. Bersama ribuan pengikutku, aku
berangkat ke Rājagaha. Ternyata, ketika itu Bhagavā juga sedang berada
di Rājagaha. Aku pun pergi menemui Bhagavā di Hutan Veḷu. Di Hutan Veḷu,
kami menjadi takjub melihat kesaktian Bhikkhu Sāgata. Setelah
mendengarkan Dhamma dari Bhagavā, muncul niatku untuk menjadi bhikkhu.
Dengan
restu orangtuaku, aku pergi sendiri menemui Bhagavā, memohon dijadikan
bhikkhu. Bhagavā lalu menahbis dan membimbingku bermeditasi. Setelahnya,
aku masuk ke Hutan Sīta berlatih meditasi.
Namun, di sana,
orang-orang berdatangan ingin melihat kaki lembutku. Aku jadi tak bisa
berlatih. Aku lalu berlatih meditasi jalan hingga kakiku berdarah dan
bengkak. Lintasan meditasi pun berceceran darah. Tapi makin kuat
usahaku, batinku makin resah dan putus asa.
Bhagavā lalu datang
dan menasihatiku, “Jika dawai diikat terlalu kencang, senar tak bisa
dimainkan. Jika terlalu longgar, suaranya tak berbunyi. Jika terlalu
gigih, menghasilkan keresahan. Jika terlalu longgar, mendatangkan
kemalasan. Engkau harus mengatur upayamu supaya pas.” Bhagavā tahu aku
mahir bermain kecapi, sehingga menasihatiku dengan perumpamaan ini.
Aku
pun menjalani upaya yang piawai hingga menembusi kesucian Arahatta.
Bhagavā juga mengizinkanku untuk memakai alas kaki sederhana, melindungi
kakiku yang lembut. Karena kasih sayang terhadap bhikkhu lain, aku pun
memohon agar hal ini diberlakukan bagi semua bhikkhu. Bhagavā pun
setuju.
Salam Dharma.
Sumber: Ehipassiko Foundation
0 komentar:
Posting Komentar