Bhikkhuṇī Bhaddā Kuṇḍalakesā
Unggul dalam Kepesatan Menembus
Pada usia muda, aku jatuh cinta kepada seorang perampok yang telah dijatuhi hukuman mati. Aku tak ingin hidup jika tidak hidup bersamanya. Ayahku, yang seorang saudagar, diam-diam memberikan uang kepada penjaga penjara untuk melepaskan perampok itu. Aku pun dinikahkan dengan Sattuka, si perampok.
Saat dibawa ke rumah, Sattuka melihat aku dipenuhi perhiasan. Ia ingin mengambil semua perhiasan itu dan berkata, “Aku pernah bersumpah kepada dewa gunung akan memberikan persembahan jika selamat dari hukuman mati.” Dengan senang hati, aku pun mempersiapkan persembahan itu dan pergi ke gunung bersamanya.
Sesampainya di gunung, Sattuka menyatakan niat jahatnya. Aku berkata bahwa sebelum ia mengambil perhiasanku, aku ingin memberi hormat dan memeluknya untuk terakhir kali. Sambil pura-pura memeluk Sattuka, aku mendorongnya ke jurang.
Aku malu untuk pulang. Aku lalu mengikuti para petapa aliran Nigaṇṭha yang kemudian menggunduli kepalaku. Ketika tumbuh, rambutku menjadi keriting. Aku pun dipanggil Kuṇḍalakesā yang berarti “rambut keriting”.
Tak puas dengan ajaran Nigaṇṭha, aku belajar dari berbagai guru dan menjadi ahli diskusi dan debat. Aku sering memasuki sebuah desa, meletakkan sebatang ranting dan berkata, “Injak ranting ini jika ingin berdebat denganku.”
Suatu hari, Bhikkhu Sāriputta melihat ranting yang aku letakkan. Ia lalu meminta anak-anak menginjak ranting itu. Mengetahui hal ini, aku mendatanginya ke Hutan Jeta.
Bhikkhu Sāriputta mempersilakan aku bertanya terlebih dahulu, lalu ia menjawab semua pertanyaan sampai aku terdiam.
Bhikkhu Sāriputta lalu bertanya, “Apakah yang satu itu?” Aku tak bisa menjawab, aku meminta Bhikkhu Sāriputta menjadi guruku. Tetapi Bhikkhu Sāriputta mengirimku kepada Bhagavā.
Mendengar Dhamma Bhagavā, aku menjadi Arahanta. Aku pun ditahbis menjadi bhikkhuṇī. Selain mencapai kesucian, aku juga memeroleh kesaktian.
Salam Dharma.
Sumber: Ehipassiko Foundation
0 komentar:
Posting Komentar