Siswa Agung (Mahā-Sāvaka)
Bhikkhu Anuruddha
Unggul dalam Mata Surgawi
Ketika
kecil, aku pernah terus-menerus meminta kue kepada ibu. Ibuku berkata,
”Netti… netti…,” yang artinya “habis”. Tapi aku tidak paham. Ibu lalu
menunjukkan mangkuk kosongnya untuk membuatku paham. Tapi para dewa
malah mengisi mangkuk itu dengan banyak kue. Konon, pada kehidupan
lampau, aku pernah bederma kepada Paccekabuddha. Karenanya, aku terlahir
kembali dengan tidak pernah kekurangan apa pun.
Namaku
Anuruddha, sepupu Siddhattha. Setelah Siddhattha menjadi Buddha,
Mahānāma, kakak kandungku, mendesakku menjadi bhikkhu bersamanya.
Awalnya aku enggan. Tapi Mahānāma terus mendesak hingga aku setuju.
Namun, ibu kami hanya akan memberi restu, jika Bhaddiya, sepupu kami,
juga menjadi bhikkhu. Ibu mengira Bhaddiya tidak akan mau menjadi
bhikkhu, karena ia adalah pewaris takhta. Tapi ternyata Bhaddiya setuju.
Akhirnya bersama para pangeran Sākiya lain, kami pergi menjadi bhikkhu.
Aku
gigih bermeditasi. Sebelum musim hujan berakhir, aku meraih kesaktian
mata. Kemudian Bhikkhu Sāriputta mengajarkanku Dhamma mengenai delapan
pikiran orang mulia. Bhagavā tahu aku tak mampu menembusi pikiran orang
mulia yang kedelapan, Ia lalu membimbingku hingga menembusi kesucian
Arahatta.
Setelah cerah, aku kerap membimbing bhikkhu lain.
Ketika terjadi pertengkaran para bhikkhu di Kosambī, aku menemani
Bhagavā pergi ke Pācīnavaṁsadāya. Menjelang Parinibbāna Bhagavā, banyak
bhikkhu bersedih, namun aku tetap tenang. Aku menyerukan syair indah
menyanjung kemangkatan sempurna Bhagavā dan mengatur perabuan agung.
Tatkala
memperjuangkan kesucian, aku tidak tidur selama 25 tahun. Pada 30 tahun
terakhir hidupku, aku hanya tidur 4 jam sehari. Akibatnya aku menjadi
buta. Namun tekadku untuk berlatih tidak surut. Aku wafat di Veluvagāma,
Negeri Vajjī, pada usia 115 tahun.
Salam Dharma.
Sumber: Ehipassiko Foundation
0 komentar:
Posting Komentar