A.05 Bhikkhu Anuruddha

 Siswa Agung (Mahā-Sāvaka)

 

Bhikkhu Anuruddha
Unggul dalam Mata Surgawi


Ketika kecil, aku pernah terus-menerus meminta kue kepada ibu. Ibuku berkata, ”Netti… netti…,” yang artinya “habis”. Tapi aku tidak paham. Ibu lalu menunjukkan mangkuk kosongnya untuk membuatku paham. Tapi para dewa malah mengisi mangkuk itu dengan banyak kue. Konon, pada kehidupan lampau, aku pernah bederma kepada Paccekabuddha. Karenanya, aku terlahir kembali dengan tidak pernah kekurangan apa pun.

Namaku Anuruddha, sepupu Siddhattha. Setelah Siddhattha menjadi Buddha, Mahānāma, kakak kandungku, mendesakku menjadi bhikkhu bersamanya. Awalnya aku enggan. Tapi Mahānāma terus mendesak hingga aku setuju. Namun, ibu kami hanya akan memberi restu, jika Bhaddiya, sepupu kami, juga menjadi bhikkhu. Ibu mengira Bhaddiya tidak akan mau menjadi bhikkhu, karena ia adalah pewaris takhta. Tapi ternyata Bhaddiya setuju. Akhirnya bersama para pangeran Sākiya lain, kami pergi menjadi bhikkhu.

Aku gigih bermeditasi. Sebelum musim hujan berakhir, aku meraih kesaktian mata. Kemudian Bhikkhu Sāriputta mengajarkanku Dhamma mengenai delapan pikiran orang mulia. Bhagavā tahu aku tak mampu menembusi pikiran orang mulia yang kedelapan, Ia lalu membimbingku hingga menembusi kesucian Arahatta.

Setelah cerah, aku kerap membimbing bhikkhu lain. Ketika terjadi pertengkaran para bhikkhu di Kosambī, aku menemani Bhagavā pergi ke Pācīnavaṁsadāya. Menjelang Parinibbāna Bhagavā, banyak bhikkhu bersedih, namun aku tetap tenang. Aku menyerukan syair indah menyanjung kemangkatan sempurna Bhagavā dan mengatur perabuan agung.

Tatkala memperjuangkan kesucian, aku tidak tidur selama 25 tahun. Pada 30 tahun terakhir hidupku, aku hanya tidur 4 jam sehari. Akibatnya aku menjadi buta. Namun tekadku untuk berlatih tidak surut. Aku wafat di Veluvagāma, Negeri Vajjī, pada usia 115 tahun.

Salam Dharma.

 

Sumber: Ehipassiko Foundation

Category:

0 komentar: