Bhikkhu Piṇḍola Bhāradvāja
Unggul dalam Menyerukan Auman Singa
Pada
masa Buddha Padumuttara, hidup seekor singa yang mencari mangsa di
gunung. Buddha Padumuttara melihat dengan mata batin bahwa singa itu
mampu menembusi Nibbāna. Ia lalu melayang di depan singa itu. Ketika
menyadari bahwa yang dilihatnya bukan manusia biasa, singa itu
memberikan penghormatan kepada Buddha, mengumpulkan berbagai jenis
bunga, dan menaburkannya di tanah sebagai alas duduk-Nya selama tujuh
hari. Setelah mati, singa itu terlahir ulang di alam manusia dan dewa,
hingga akhirnya terlahir sebagai aku, Bhāradvāja.
Aku menjadi
guru di Rājagaha, mengajar dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun,
dulunya aku sangat tamak, aku suka mencari makanan bersama
murid-muridku. Orang-orang menjulukiku Piṇḍola, yang berarti “pencari
makanan”.
Suatu ketika, aku kehilangan semua harta dan jatuh
miskin. Ketika mendengar Bhagavā mengajar di Rājagaha, aku memutuskan
menjadi bhikkhu. Setelah menjadi bhikkhu, aku masih saja tamak, aku
membawa mangkuk besar dari labu untuk mengumpulkan makanan. Bhagavā pun
menasihatiku. Tak lama, mangkuk itu rusak, aku pun menyadari
kekeliruanku dan mengendalikan diri dalam hal makan. Setelah itu, aku
menembusi kesucian Arahatta.
Aku bermeditasi dengan tekun dan
memiliki kesaktian. Suatu ketika, aku menunjukkan kesaktian di depan
banyak orang, terbang mengambil mangkuk yang digantung seorang pedagang
kaya di atas bambu tinggi. Bhagavā menegurku dan menetapkan peraturan
bahwa bhikkhu tidak boleh memamerkan kesaktian. Setelah menembusi
kesucian Arahatta, aku giat mengajarkan Dhamma, salah satunya kepada
Raja Udena.
Salam Dharma.
Sumber: Ehipassiko Foundation
0 komentar:
Posting Komentar