A.11 Bhikkhu Cūḷapanthaka

 Siswa Agung (Mahā-Sāvaka)


Bhikkhu Cūḷapanthaka
Unggul dalam Mencipta Tubuh Ciptaan Pikiran dan Kepiawaian Menghentikan Pikiran

Seorang putri pedagang kaya melarikan diri dari rumah, demi menikah dengan budak ayahnya. Ketika mengandung, ia berniat kembali ke Rājagaha untuk melahirkan di rumah orangtuanya. Namun di tengah perjalanan, bayinya lahir. Bayi itu diberi nama Panthaka, yang berarti “pengelana”. Anak keduanya juga terlahir dengan cara yang sama dan diberi nama Panthaka juga. Anak pertama lalu dipanggil Mahāpanthaka (Panthaka Besar), dan anak kedua dipanggil Cūḷapanthaka (Panthaka Kecil). Aku adalah Cūḷapanthaka, anak kedua yang terlahir di jalan.

Ketika dewasa, kakakku Mahāpanthaka, menjadi bhikkhu dan tercerahkan. Kakakku sangat mengasihiku dan ingin aku menembusi kecerahan. Ia lalu menjadikanku bhikkhu. Tapi, aku tak secerdas kakak. Dalam empat bulan, aku tak mampu memahami satu syair pun. Putus asa, kakak menyuruhku meninggalkan Saṅgha. Aku tidak mau, aku sangat mencintai Dhamma.

Suatu ketika, Tabib Jīvaka mengundang Bhagavā menyambut derma makanan. Jīvaka meminta kakak mengundang para bhikkhu ke rumahnya. Merasa adiknya tak layak, ia meninggalkanku di wihara. Aku sangat sedih dan ingin meninggalkan Saṅgha.

Ketika aku hendak pergi, Bhagavā datang, menenangkanku, dan berkata, ”Ucapkan berulang ‘rajo-haraṇaṁ’ (bersihkan kotoran) sambil usap-usap wajahmu dengan kain ini.”

Saat melakukan yang disarankan Bhagavā, aku menyadari bahwa kain menjadi kotor. Aku lalu mengarahkan perenungan pada ketak-tetapan. Buddha mengirim cahaya dan menasihati perlunya membersihkan kotoran batin. Pada akhir nasihat Buddha, aku mencapai kesucian Arahatta dan memeroleh kesaktian.

Sementara itu, di kediaman Jīvaka, semua makanan sudah disajikan, Bhagavā mengutus seorang pelayan untuk menjemputku. Sesampainya di wihara, pelayan itu menemukan seribu sosok diriku. Karena bingung, pelayan itu kembali sendirian. Bhagavā lalu memintanya membawa bhikkhu yang pertama kali menjawab, ”Aku Cūḷapanthaka.” Dan ia pun melakukannya.

Bersama pelayan itu, aku tiba di rumah Jīvaka dan langsung bersujud kepada Bhagavā. Setelah santap siang, Bhagavā meminta aku mengajar Dhamma. Aku pun membabarkan dengan piawai.


Salam Dharma.

 

Sumber: Ehipassiko Foundation

Category:

0 komentar: