A.20 Bhikkhu Rāhula

Siswa Agung (Mahā-Sāvaka)



Bhikkhu Rāhula
Unggul dalam Kemauan Berlatih


Namaku Rāhula, Siddhattha Gotama adalah ayahku. Setelah tujuh tahun, ayah kembali sebagai Buddha. Ketika itu, Ibu memakaikanku busana anggun dan menyuruhku menemui ayah. Bersama-Nya aku merasa nyaman dan berkata, “Ayah, bayangan-Mu menyenangkan sekali.”

Seperti permintaan ibu, aku berkata, “Berikan warisanku, Ayah.” Namun, Ia hanya diam. Sampai makan siang berakhir, Ayah sama sekali tidak menjawab. Aku lalu mengikutinya sampai ke wihara, terus meminta warisan. Di wihara, Ayah memberikan warisan yang paling berharga, yaitu Dhamma. Ia lalu meminta Bhikkhu Sariputta menahbiskan aku jadi sāmaṇera. Mengetahui hal ini, kakekku, Raja Suddhodana, memohon agar kelak tak ada anak yang ditahbis tanpa persetujuan orangtuanya. Bhagavā pun setuju.

Setelah menjadi sāmaṇera, aku semangat menerima pelajaran. Tiap pagi aku mengambil segenggam pasir dan berkata, “Semoga hari ini aku mendapat nasihat dari guru-guruku sebanyak pasir dalam genggaman ini.”

Namun, karena masih belia, kadang aku berbohong. Bhagavā lalu menasihatiku agar tidak berbohong, meski hanya bergurau. Aku kemudian menjadi sangat taat pada peraturan. Aku pernah tidur di bilik mandi karena ada peraturan yang menyatakan sāmaṇera tidak boleh tidur satu atap dengan bhikkhu. Setelah peristiwa ini, Bhagavā menghapus peraturan tersebut agar tidak menyulitkan para sāmaṇera.

Ketika melihat mata batinku telah matang, Bhagavā mengajakku ke Hutan Bhūta. Di sana, Ia mengajukan berbagai pertanyaan. Melalui pertanyaan-pertanyaan itulah, aku menembus kesucian tertinggi bersama dewa-dewa yang tak terhitung jumlahnya.

Pada lain waktu, aku pernah terpaksa tidur di alam terbuka. Mara lalu datang untuk menakutiku. Tapi, sedikit pun aku tidak takut. Buddha lalu keluar dan mengatakan kepada Mara bahwa aku adalah seorang Arahanta, tak lagi takut pada apa pun. Mara pun segera berlalu.

Setelah pencapaian kesucian, aku ditahbis menjadi bhikkhu. Aku dikenal sebagai “Rāhula yang beruntung”, lahir sebagai putra Buddha, memiliki mata Dhamma, mengakhiri noda batin, dan tak akan terlahir kembali. Pada usia 50 tahun, aku wafat, mendahului Bhikkhu Sariputta dan Buddha Gotama, ayahku.

Salam Dharma. 

 

Sumber: Ehipassiko Foundation

Category:

0 komentar: