Bhikkhu Rāhula
Unggul dalam Kemauan Berlatih
Namaku
Rāhula, Siddhattha Gotama adalah ayahku. Setelah tujuh tahun, ayah
kembali sebagai Buddha. Ketika itu, Ibu memakaikanku busana anggun dan
menyuruhku menemui ayah. Bersama-Nya aku merasa nyaman dan berkata,
“Ayah, bayangan-Mu menyenangkan sekali.”
Seperti permintaan ibu,
aku berkata, “Berikan warisanku, Ayah.” Namun, Ia hanya diam. Sampai
makan siang berakhir, Ayah sama sekali tidak menjawab. Aku lalu
mengikutinya sampai ke wihara, terus meminta warisan. Di wihara, Ayah
memberikan warisan yang paling berharga, yaitu Dhamma. Ia lalu meminta
Bhikkhu Sariputta menahbiskan aku jadi sāmaṇera. Mengetahui hal ini,
kakekku, Raja Suddhodana, memohon agar kelak tak ada anak yang ditahbis
tanpa persetujuan orangtuanya. Bhagavā pun setuju.
Setelah
menjadi sāmaṇera, aku semangat menerima pelajaran. Tiap pagi aku
mengambil segenggam pasir dan berkata, “Semoga hari ini aku mendapat
nasihat dari guru-guruku sebanyak pasir dalam genggaman ini.”
Namun,
karena masih belia, kadang aku berbohong. Bhagavā lalu menasihatiku
agar tidak berbohong, meski hanya bergurau. Aku kemudian menjadi sangat
taat pada peraturan. Aku pernah tidur di bilik mandi karena ada
peraturan yang menyatakan sāmaṇera tidak boleh tidur satu atap dengan
bhikkhu. Setelah peristiwa ini, Bhagavā menghapus peraturan tersebut
agar tidak menyulitkan para sāmaṇera.
Ketika melihat mata batinku
telah matang, Bhagavā mengajakku ke Hutan Bhūta. Di sana, Ia mengajukan
berbagai pertanyaan. Melalui pertanyaan-pertanyaan itulah, aku menembus
kesucian tertinggi bersama dewa-dewa yang tak terhitung jumlahnya.
Pada
lain waktu, aku pernah terpaksa tidur di alam terbuka. Mara lalu datang
untuk menakutiku. Tapi, sedikit pun aku tidak takut. Buddha lalu keluar
dan mengatakan kepada Mara bahwa aku adalah seorang Arahanta, tak lagi
takut pada apa pun. Mara pun segera berlalu.
Setelah pencapaian
kesucian, aku ditahbis menjadi bhikkhu. Aku dikenal sebagai “Rāhula yang
beruntung”, lahir sebagai putra Buddha, memiliki mata Dhamma,
mengakhiri noda batin, dan tak akan terlahir kembali. Pada usia 50
tahun, aku wafat, mendahului Bhikkhu Sariputta dan Buddha Gotama,
ayahku.
Salam Dharma.
Sumber: Ehipassiko Foundation
0 komentar:
Posting Komentar