Siswa Agung (Mahā-Sāvaka)
Bhikkhu Raṭṭhapāla
Unggul dalam Ditahbis Karena Keyakinan
Aku
terlahir di Negeri Kuru, di dalam keluarga menteri. Aku hidup makmur
dan menikahi perempuan yang sesuai. Setelah mendengar ceramah Bhagavā,
aku meminta ditahbis menjadi bhikkhu. Bhagavā menjelaskan bahwa
seseorang akan ditahbis setelah mendapatkan izin orangtuanya.
Orangtuaku
tidak mengizinkan aku menjadi bhikkhu. Berkali-kali aku memohon, tapi
jawabannya tetap sama. Akhirnya, selama tujuh hari aku berbaring di
lantai dan mogok makan. Orangtuaku membujuk makan, aku hanya diam.
Mereka lalu memanggil teman-teman datang membujuk-ku. Namun, aku tetap
diam. Atas saran para sahabatku, orangtuaku akhirnya mengizinkan aku
menjadi bhikkhu dengan syarat aku harus mengunjungi mereka.
Setelah
menjalani kehidupan bhikkhu yang keras di dalam hutan selama dua belas
tahun dan tidak pernah tidur di pembaringan, aku menembusi kesucian
Arahatta.
Suatu hari, atas izin Bhagavā, aku mengunjungi
orangtuaku. Setibanya di sana, ayah dan ibu tak lagi mengenaliku, mereka
bahkan mencaciku. Ketika pelayan di rumah hendak memberiku nasi basi,
ia mengenali suaraku. Orangtuaku lalu mengundangku masuk. Namun, karena
hari itu aku telah menerima derma makanan dari pelayanku, aku menolak
dan berjanji untuk datang esok harinya.
Keesokannya, setelah aku
tiba, orangtuaku langsung memperlihatkan semua emas, perak, dan segala
harta kemilau mereka yang bertumpuk-tumpuk, sambil berkata, “Semua ini
adalah warisan untukmu. Tinggalkan kehidupan bhikkhu, nikmatilah
kekayaan ini!” Aku menolak.
Mantan istri aku pun ikut merayu agar
aku kembali. Tapi aku menolaknya secara halus dengan panggilan
“saudari”. Mendengar aku memanggilnya “saudari”, orangtua dan mantan
istriku jatuh pingsan.
Setelah itu, ayah langsung mengunci rumah
dengan gembok dan mengganti paksa jubah coklatku dengan jubah putih.
Melihat kelakuan ayah, setelah menerima derma makanan, aku membabarkan
Dhamma. Setelah memahami Dhamma, ayah pun melepasku kembali menjalani
kehidupan suci.
Salam Dharma.
Sumber: Ehipassiko Foundation
0 komentar:
Posting Komentar