A.27 Bhikkhu Bāhiya Dāruciriya

 


Bhikkhu Bāhiya Dārucīriya
Unggul dalam Kepesatan Menembus


Aku adalah satu-satunya orang yang selamat dari kapalku yang karam. Karena pakaianku hilang di laut, aku memakai kulit kayu untuk menutupi diri. Oleh sebab itu, aku dipanggil “Bāhiya Dārucīriya” yang artinya “Si Cawat Kayu”. Karena penampilanku, orang-orang mengira aku orang suci.

Lama-kelamaan, aku pun merasa bahwa aku adalah Arahanta, orang suci. Mengetahui itu, sesosok Brahmana yang menjadi temanku pada kehidupan lampau muncul dan mengatakan bahwa aku bukan Arahanta dan tidak berada dalam jalan menjadi Arahanta.

Aku lalu bertanya, “Apakah di dunia ini ada Arahanta atau orang yang menempuh jalan Arahanta?” Brahma itu menjawab, “Di Sāvatthī, ada seorang Bhagavā. Ia juga mengajarkan jalan Arahatta.”

Dengan bantuan brahma itu, aku pergi ke Sāvatthī. Saat bertemu Bhagavā, aku langsung bersujud dan minta diajarkan Dhamma. Bhagavā melihat bahwa aku baru saja menempuh perjalanan jauh dan batinku belum siap. Bhagavā menjawab, “Bāhiya, ini bukan saat yang tepat, kami sedang menyambut derma.” Namun aku terus memohon sampai tiga kali.

Saat aku sudah tenang, Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku, “Dalam hal ini, Bāhiya, engkau seharusnya melatih dirimu begini, dalam yang terlihat harus hanya ada yang terlihat, dalam yang terdengar harus hanya ada yang terdengar, dalam yang terasa harus hanya ada yang terasa, dalam yang tersadari harus hanya ada yang tersadari. Inilah caranya, Bāhiya, engkau seharusnya melatih dirimu.”

“Dan karena bagimu, Bāhiya, dalam yang terlihat hanya akan ada yang terlihat, dalam yang terdengar hanya akan ada yang terdengar, dalam yang terasa hanya akan ada yang terasa, dalam yang tersadari hanya akan ada yang tersadari, maka, Bāhiya, engkau tidak akan ada dengan itu; dan karena, Bāhiya, engkau tidak akan ada dengan itu, maka, Bāhiya, engkau tidak akan ada dalam itu; dan karena, Bāhiya, engkau tidak akan ada dalam itu, maka, Bāhiya, engkau tidak akan ada di sini atau di sana atau di antaranya. Hanya inilah akhir duka.”

Seketika itu juga, aku cerah. Aku lalu minta ditahbis menjadi bhikkhu. Karena karma burukku pada masa lampau, ketika aku sedang mencari jubah dan mangkuk, seekor banteng menyeruduk aku hingga tewas.

Salam Dharma.

 

Sumber: Ehipassiko Foundation

Category:

0 komentar: